Monday, December 13, 2021

Siri 4 - No. 4 : Allah Mengatur segala Urusan

                                                                                                     Isi Kandungan

Kembali


Siri 4 - No. 4 : Allah Mengatur segala Urusan


   



KUPASAN 1

SYARAH HIKMAH KE-4 

 

أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ

Istirahatkan dirimu atau pikiranmu dari kesibukan mengatur kebutuhan duniamu. Sebab apa yang sudah dijamin diselesaikan oleh selain kamu, tidak usah engkau sibuk memikirkannya.

Sejatinya, perkara rezeki sudah diatur oleh Allah semenjak engkau belum ada.

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ

Istirahatkan dirimu atau pikiranmu dari kesibukan mengatur kebutuhan duniamu.

Istirahatkanlah dirimu dari memikirkan sesuatu yang belum terjadi. Yakni jangan banyak berangan-angan dan memikirkan hal-hal yang belum terjadi, seperti halnya memikirkan makan apa untuk hari esok atau bulan depan, karena Allah sudah mengira-ngirakan rezeki untukmu jauh sebelum engkau ada, begitu juga ajalmu, nikmat, dan cobaan untukmu. Belum tentu apa yang engkau pikirkan besok akan terjadi, sehingga pikiran dan angan-angan itu tidak berguna dan sia-sia belaka.

Tidak pernahkan engkau berpikir, dulu sebelum engkau ada, engkau pun tidak pernah memikirkan dan tidak meminta pada Allah untuk mewujudkanmu, lalu Allah berkehendak untuk menampakkanmu dengan kehendak-Nya sendiri bukan dengan adanya permintaanmu. Allah menampakkanmu dengan kehendak-Nya sendiri melalui tulang rusuk kedua orang tuamu, lalu Allah memindahkan dalam kandungan ibumu, mulai dari segumpal darah selama 40 hari, lalu menjadi segumpal daging selama 40 hari, lalu Allah membentukmu menjadi laki-laki atau perempuan selama 40 hari dan memberinya ruh, sehingga menjadi sebuah janin yang membutuhkan makan dan minum. Kemudian Allah menjadikan darah haidh sebagai makanan dan minuman janin tersebut, dan Allah menetapkan ajal, rezeki, cobaan dan nikmat untuknya begitu pula keberuntungan dan musibah atau kegagalan.

Kemudian Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu (lahir), engkau pun berkeinginan untuk makan dan minum, saat itu engkau sangat lemah dan tidak berdaya untuk mengunyah. Sehingga Allah menjadikan air susu ibumu sebagai makanan dan minuman supaya engkau mampu bertahan. Engkau menjadi beban yang teramat menyusahkan, akan tetapi Allah menaruh rasa belas kasih pada hati kedua orang tuamu. Sehingga mereka mau merawatmu dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih-sayang. Mereka mengayun menimangmu dan menyiapkan kebutuhanmu, mulai engkau bayi sampai engkau besar. Lalu Allah memberi engkau kecerdasan, memberi akal sesuai kadarnya, memberi iman, ilmu dan lainnya.

Apakah semua itu diperoleh sebab ikhtiyār dan permohonanmu kepada Allah? Atau karena angan-angan dan pemikiranmu? Tidak! Semua itu terjadi atas kehendak qadhā’ qadar dan belas kasih Allah. Jika begitu halnya, maka apalah guna engkau ikut serta mengangankan, memikirkan, dan mengira-ngirakan? Karena orang yang ikut serta memikirkan perkara yang bukan menjadi urusannya itu tidak ada gunanya. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ

Sebab apa yang sudah dijamin diselesaikan oleh selain kamu, tidak usah engkau sibuk memikirkannya.

Apa yang sudah diurus untukmu oleh Tuhanmu (Allah), janganlah engkau turut mengurusnya.

Apa yang sudah ditanggung oleh Allah untukmu, apakah itu dalam hal-ihwal rezekimu serta lainnya, maka engkau jangan ikut serta mengurusnya, karena Allah berfirman:

وَ مَا مَنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا.

Tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini kecuali Allah sudah menanggung rezekinya....” (Hūd [11]: 6).

Andaikan seorang raja dunia sudah menanggung kebutuhan duniawi selama hidupmu, dia memberimu sebuah bukti berupa surat yang di dalamnya ada tanda tangan raja itu sendiri, bahwa beliau benar-benar sudah menanggung makanan dan pakaian untukmu sepanjang hidupmu, maka engkau akan benar-benar mau mempercayainya dengan adanya surat dari raja tersebut. Nah, bagaimana bila yang menjamin dan menanggungnya adalah raja dari semua raja yang menguasai langit dan bumi, lebih-lebih Dia sudah menurukan sebuah surat melalui kitab suci-Nya (al-Qur’ān). Lalu apakah engkau tidak mempercayainya dan engkau masih saja memikir-mikirkan masalah pangan dan sandangmu, dalam artian, tidak mempercayai janji Allah. Maka dengan adanya imanmu yang seperti ini, sungguh amat hina dirimu. Jikalau engkau mau mempercayai janji raja dunia yang lemah tapi tidak mau mempercayai janji Allah, Dzat yang menguasai langit dan bumi, maka sungguh telah hilang keimanan pada dirimu, maka renungkanlah nasehat ini, wallāhu a‘lam.

Ketahuilah, wahai saudaraku sekalian, sesungguhnya sesuatu yang bisa menjadikan hilangnya tadbīr (memikirkan suatu hal yang belum terjadi atas dasar keinginan nafsu dan syahwat dan ikhtiyār adalah melihat pada 10 perkara:

Pertama, ketahuilah bahwa Allah sudah mengatur urusanmu sebelum engkau ada.

Kedua, engkau akan mengetahui bahwasanya tadbīr yang engkau lakukan itu karena engkau tidak mengetahui kebaikan Allah padamu. Seorang mu’min pasti tahu bahwa meskipun dia tidak men-tadbīr urusan dirinya, Allah pasti memberikan yang terbaik baginya. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah di dalam al-Qur’ān?

وَ مَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ.

“….dan barang siapa yang berserah diri kepada Allah maka Allah-lah Dzat yang mencukupinya….” (ath-Thalāq [65]: 3).

Maka ketika engkau ingin mengurus suatu kebaikan untuk dirimu maka janganlah engkau mengurusnya lagi akan tetapi hanya berserah dirilah kepada Allah.

Ketiga, ketahuilah bahwa sesungguhnya ketentuan (qadar) Allah itu tidak berjalan sesuai tadbir-mu, bahkan kebanyakan hal yang terjadi pada dirimu itu adalah sesuatu yang tidak pernah engkau pikirkan dan rencanakan.

Keempat, ketahuilah bahwasanya Allah-lah yang menguasai segala kerajaan; 7 langit, 7 bumi, ‘arsy, kursy, dan tidak ada satupun yang ikut serta berkuasa. Kesemuanya itu tunduk pada apa yang diperintahkan Allah s.w.t. dan berserah diri pada tadbīr Allah, maka lebih besar manakah antara kepala manusia dan langit beserta bumi seisinya? Sehingga engkau tidak mau menerima tadbīr Allah dan engkau masih saja ikut serta mengurus dirimu.

Kelima, engkau sudah mengetahui bahwa engkau adalah milik Allah, jika engkau sudah dimiliki Allah maka dirimu bukan lagi milikmu dengan dalil bahwa engkau tidak bisa membuat kesembuhan pada dirimu sendiri. Sehingga, sesuatu yang bukan menjadi milikmu maka tidak layak bagimu untuk mengurusnya, karena engkau akan meng-ghashab, sebab memerintah yang bukan milikmu. Adapun sesuatu yang engkau miliki maka kepemilikan itu hanya menurut hukum syara‘, bukan menurut hukum ḥaqīqī. Maka pahamilah!

Keenam, hendaknya engkau ketahui bahwa engkau ini hanya bertamu kepada Allah. Karena semua dunia ini adalah ibarat “desa”-Nya Allah, dan engkau itu hanya beristirahat di dalamnya, sekadar bertamu kepada Allah. Adapun hak-hak tamu adalah tidak perlu ikut mengurus makanan apa yang hendak dimakan, bahkan jangan ber-ikhtiyār untuk membuat hidangan sendiri karena pemilik rumah pasti sudah mengatur hidangannya. Begitu pula jika yang didatangi (dikunjungi) adalah raja yang amat kaya raya, maka tidak layak bagimu untuk ikut serta mengurusnya hingga mencapai tiga hari. Karena sabda Rasūlullāh s.a.w.:

الضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ

Hidangan tamu itu selama tiga hari.

Engkau bertamu kepada Allah s.w.t., sedang satu hari menurut Allah sama dengan seribu tahun menurut perhitungan harimu. Allah berfirman:

وَ إِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّوْنَ.

Sesungguhnya satu hari menurut Allah itu sama halnya seribu tahun menurut perhitungan hari kalian….” (al-Ḥajj [22]: 47).

Maksudnya, jika engkau hidup selama tiga ribu tahun, maka Allah akan memberimu hidangan (rezeki) seumur hidupmu, tanpa kurang sesuatu apapun, dan bila umurmu tidak sampai tiga ribu tahun, maka Allah akan menyempurnakan hidangan tersebut di akhirat kelak, dengan menetapkanmu di surga atas fadhal Allah. Wallāhu a‘lam.

Pahamilah!

Ketujuh, hendaknya engkau merenungkan firman Allah yang berbunyi:

اللهُ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ.

Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi Terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)….” (al-Baqarah [2]: 255).

Allah adalah Dzat yang mengurus hamba-Nya baik di dunia maupun di akhirat, di dunia dengan memberi rezeki dan di akhirat dengan memberi pahala dan pembalasan (amal perbuatannya). Maka, jika engkau sudah mengetahui bahwa Allah bersifat Qayyūm (Maha Mengurus makhluk-Nya) maka berserah dirilah kepada-Nya!

Kedelapan, hendaklah engkau disibukkan dengan beribadah kepada Allah sampai ajal menjemputmu, Allah berfirman:

وَ اعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ.

Beribadah atau sembahlah Tuhanmu hingga engkau menghadapi kematian….” (al-Ḥijr [15]: 99).

Ketika engkau tersibukkan oleh ibadah maka engkau tidak akan berangan-angan dan ber-tadbīr untuk dirimu sendiri. Wallāhu a‘lam.

Kesembilan, sesungguhnya engkau sudah mengetahui bahwa engkau adalah hamba Allah, dan hak-hak hamba adalah hendaknya tidak ikut serta mengurus dan mengatur sebagaimana tuannya. Akan tetapi, kewajibannya adalah melayani apa yang diperintahkan sang majikan, majikannya yang mengatur pemberian. Tidakkah engkau mendengar firman Allah di dalam al-Qur’ān?

وَ أْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَ اصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ.

(Wahai Muḥammad) Perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah di dalamnya (perkara shalat). Aku tidak meminta rezeki darimu (untuk memberi rezeki kepada keluargamu) akan tetapi Aku-lah yang memberimu (dan keluargamu) rezeki…..” (Thāhā [20]: 132).

Hal ini berarti tetaplah melayani majikanmu (Allah) dan majikanmu yang akan menyiapkan atau mengurus sandang panganmu.

Kesepuluh, sesungguhnya engkau tidak mengetahui tentang akhir suatu perkara dan engkau tidak bisa memperkirakannya. Engkau menganggap suatu perkara itu bermanfaat, namun nyatanya membahayakan, engkau anggap berbahaya tapi nyatanya bermanfaat.

Ketahuilah, sesungguhnya meninggalkan tadbīr dan ikhtiyār serta mau menerima atau rela dengan tadbīr Tuhanmu itu adalah ibadah yang paling utama. Sesungguhnya musibah yang paling besar adalah ikut campur mengatur dengan ikhtiyār dan tadbīr-nya sendiri. Musibah putra nabi Nūḥ a.s. yang mati dalam keadaan kafir, adalah sebab mengikuti tadbīr-nya sendiri dan menjauh dari tadbīr Allah. Dan juga kafirnya iblis itu sebab mengikuti tadbīr-nya sendiri dan tidak mau menerima tadbīr Allah.

 

 

KUPASAN 2

 

Al-Hikam Pasal 4

Istirahatkan Dirimu dari Pengaturan

“JANGAN IKUT MENGATUR”


أَرِحْ نــَفْسَـكَ مِنَ الـتَّدْبِــيْرِ، فَمَا قَامَ بِـهِ غَيْرُ كَ عَـنْكَ لاَ تَـقُمْ بِـهِ لِنَفْسِكَ

"Istirahatkan dirimu dari tadbiir (melakukan pengaturan-pengaturan)! Maka apa-apa yang selainmu (Allah) telah melakukannya untukmu, janganlah engkau (turut) mengurusinya untuk dirimu."

 

Syarah

Tanpa kita sadari, banyak hal yang telah Allah atur untuk diri kita. Jaringan syaraf yang terus bekerja, paru-paru yang memompa udara, oksigen yang kita hirup dengan leluasa, rizki yang kita makan, dan banyak hal lain yang sesungguhnya telah Allah atur untuk setiap manusia. Maka kita tidak perlu terlalu khawatir, takut, turut serta melakukan pengaturan untuk diri kita sendiri, dan bertawakallah! Sebagaimana firman-Nya:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَ‌ىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَ‌كَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْ‌ضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

 

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.. – Q.S. Al-A'raaf [7]: 96

 

Yang di maksud TADBIIR (mengatur diri sendiri)dalam hikmah ini yaitu Tadbir yang tidak di barengi dengan Tafwiidh (menyerahkan kepada Alloh). Apabila Tadbir itu dibarengi dengan Tafwidh itu diperbolehkan, bahkan Rosululloh bersabda: At-tadbiiru nishful ma-‘isyah.(mengatur apa yang menjadi keperluan itu sebagian dari hasilnya mencari ma’isah/penghidupan).

Hadits ini mengandung anjuran untuk membuat peraturan didalam mencari fadholnya Alloh. pengertian Tadbir disini ialah menentukan dan memastikan hasil. karena itu semua menjadi aturan Alloh.

al-hasil, Tadbir yang dilarang yaitu ikut mengatur dan menentukan/memastikan hasilnya.

 

Sebagai seorang hamba wajib dan harus mengenal kewajiban, sedang jaminan upah ada di tangan majikan, maka tidak usah risau pikiran dan perasaan untuk mengatur, karena kuatir kalau apa yang telah dijamin itu tidak sampai kepadamu atau terlambat, sebab ragu terhadap jaminan Allah tanda lemahnya iman.

 

KUPASAN 3


4. Allah Mengatur segala Urusan

 

TENANGKAN HATIMU DARI URUSAN TADBIR KERANA 

APA YANG DIATUR OLEH SELAIN-MU TENTANG URUSAN 

DIRIMU, TIDAK PERLU ENGKAU CAMPUR TANGAN.

 

Kita bertauhid melalui dua cara, pertama bertauhid dengan akal dan 

keduanya bertauhid dengan hati. Bidang akal ialah ilmu dan liputan 

ilmu sangat luas, bermula dari pokok kepada dahan-dahan dan 

seterusnya kepada ranting ranting.

 

Setiap ranting ada hujungnya, iaitu penyeleaiannya.

Ilmu bersepakat pada perkara pokok, bertolak 

ansur pada cabangnya dan berselisih pada rantingnya atau 

penyelesaiannya. Jawapan kepada sesuatu masalah selalunya 

berubah-ubah menurut pendapat baharu yang ditemui.

 

Apa yang dianggap benar pada mulanya dipersalahkan pada akhirnya.

Oleh sebab sifat ilmu yang demikian orang awam yang berlarutan 

membahas tentang sesuatu perkara boleh mengalami kekeliruan dan 

kekacauan fikiran. Salah satu perkara yang mudah mengganggu 

fikiran ialah soal takdir atau Qadak dan Qadar.

 

Jika persoalan ini diperbahaskan hingga kepada yang halus-halus

seseorang akan menemui kebuntuan kerana ilmu tidak mampu

mengadakan jawapan yang konkrit. Qadak dan Qadar diimani dengan hati.

 

Tugas ilmu ialah membuktikan kebenaran apa yang diimani. Jika ilmu 

bertindak menggoyangkan keimanan maka ilmu itu harus disekat 

dan hati dibawa kepada tunduk dengan iman.

 

Kalam Hikmat keempat di atas membimbing ke arah itu agar iman

tidak dicampur dengan keraguan. Selama nafsu dan akal menjadi hijab,

beriman kepada perkara ghaib dan menyerah diri secara menyeluruh

tidak akan dicapai. Qadak dan Qadar termasuk dalam perkara ghaib.

 

Perkara ghaib disaksikan dengan mata hati atau basirah.

Mata hati tidak dapat memandang jika hati dibungkus oleh hijab nafsu.

Nafsu adalah kegelapan, bukan kegelapan yang zahir tetapi kegelapan

dalam keghaiban. Kegelapan nafsu itu menghijab sedangkan mata hati

memerlukan cahaya ghaib untuk melihat perkara ghaib.

 

Cahaya ghaib yang menerangi alam ghaib adalah cahaya roh

kerana roh adalah urusan Allah s.w.t. 

Cahaya atau nur hanya bersinar apabila sesuatu itu ada perkaitan 

dengan Allah s.w.t.

 

Allah adalah cahaya bagi semua langit dan bumi.

( Ayat 35 : Surah an-Nur )

 

Dialah Yang Maha Tinggi darjat kebesaran-Nya, yang mempunyai 

Arasy (yang melambangkan keagungan dan kekuasaan-Nya); Ia 

memberikan wahyu darihal perintahNya kepada sesiapa yang 

dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya (yang telah dipilih 

menjadi Rasul-Nya), supaya Ia memberi amaran (kepada manusia) 

tentang hari pertemuan | ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min )

 

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (wahai Muhammad) –

Al-Quran sebagai roh (yang menghidupkan hati) dengan perintah 

Kami; engkau tidak pernah mengetahui (sebelum diwahyukan 

kepadamu); apakah Kitab (Al-Quran) itu dan tidak juga 

mengetahui apakah iman itu; akan tetapi Kami jadikan Al-Quran: 

cahaya yang menerangi, Kami beri petunjuk dengannya sesiapa 

yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan 

sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) adalah memberi 

petunjuk dengan Al-Quran itu ke jalan yang lurus, - Iaitu jalan 

Allah yang memiliki dan menguasai yang ada di langit dan yang 

ada di bumi. Kepada Allah jualah kembali segala urusan.|

( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )

 

Apabila cahaya roh berjaya menghalau kegelapan nafsu, mata hati 

akan menyaksikan yang ghaib. Penyaksian mata hati membawa hati 

beriman kepada perkara ghaib dengan sebenar-benarnya.

 

Allah s.w.t telah menghamparkan jalan yang lurus kepada

hamba-hamba-Nya yang beriman. Dia berfirman:

 

Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu, dan 

Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kamu, dan Aku telah redakan 

Islam itu menjadi agama untuk kamu.

( Ayat 3 : Surah al-Maa’idah ) 

 

Umat Islam adalah umat yang paling bertuah kerana Allah s.w.t 

telah menyempurnakan nikmat-Nya ke atas mereka dengan 

mengurniakan Islam. Allah s.w.t menjamin juga bahawa Dia reda 

menerima Islam sebagai agama mereka. 

 

Jaminan Allah s.w.t itu sudah cukup bagi mereka yang menuntut 

keredaan Allah s.w.t untuk tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, 

sebaliknya terus berjalan mengikut landasan yang telah dibina oleh 

Islam. Islam adalah perlembagaan yang lengkap mencakupi semua 

aspek kehidupan baik yang zahir mahupun yang batin.

 

Islam telah menjelaskan apa yang mesti dibuat, apa yang mesti 

tidak dibuat, bagaimana mahu bertindak menghadapi sesuatu dan 

bagaimana jika tidak mahu melakukan apa-apa. Segala peraturan 

dan kod etika sudah dijelaskan dari perkara yang paling kecil 

hingga kepada yang paling besar.

 

Sudah dijelaskan cara beribadat, cara berhubungan sesama manusia,

cara membahagikan harta pusaka, cara mencari dan membelanjakan

harta, cara makan, cara minum, cara berjalan, cara mandi,

cara memasuki jamban, cara hukum qisas cara melakukan

hubungan kelamin, cara menyempurnakan mayat dan

semua aspek kehidupan diterangkan dengan jelas.

 

Umat Islam tidak perlu bertengkar tentang 

penyelesaian terhadap sesuatu masalah. Segala penyelesaian telah

 

dibentangkan, hanya tegakkan iman dan rujuk kepada Islam itu 

sendiri nescaya segala pertanyaan akan terjawab. Begitulah 

besarnya nikmat yang dikurniakan kepada umat Islam. 

 

Kita perlulah menjiwai Islam untuk merasai nikmat yang 

dikurniakan itu. Kewajipan kita ialah melakukan apa yang telah 

Allah s.w.t aturkan sementara hak mengatur atau mentadbir adalah 

hak Allah s.w.t yang mutlak.

 

Jika terdapat peraturan Allah s.w.t yang tidak dipersetujui oleh nafsu kita,

jangan pula melentur peraturan tersebut atau membuat peraturan baharu,

sebaliknya nafsu hendaklah ditekan supaya tunduk kepada peraturan

Allah s.w.t. Jika pendapat akal sesuai dengan Islam maka yakinilah

akan kebenaran pendapat tersebut, dan jika penemuan akal

bercanggah dengan Islam maka akuilah bahawa akal telah tersilap di dalam 

perkiraannya.

 

Jangan memaksa Islam supaya tunduk kepada akal 

semasa yang akan berubah pada masa yang lain, tetapi tundukkan 

akal kepada apa yang Tuhan kata yang kebenarannya tidak akan 

berubah sampai bila-bila.

 

Orang yang mengamalkan tuntutan Islam disertai dengan beriman 

kepada Qadak dan Qadar, jiwanya akan sentiasa tenang dan damai. 

Putaran roda kehidupan tidak membolak-balikkan hatinya kerana 

dia melihat apa yang berlaku adalah menurut apa yang mesti 

berlaku.

 

Dia pula mengamalkan kod yang terbaik dan dijamin oleh 

Allah s.w.t. Hatinya tunduk kepada hakikat bahawa Allah s.w.t 

yang mentadbir sementara sekalian hamba berkewajipan taat 

kepada-Nya, tidak perlu masuk campur dalam urusan-Nya.

 

Mungkin timbul pertanyaan apakah orang Islam tidak boleh 

menggunakan akal fikiran, tidak boleh mentadbir kehidupannya dan 

tidak boleh berusaha membaiki kehidupannya? Apakah orang Islam 

mesti menyerah bulat-bulat kepada takdir tanpa tadbir? Allah s.w.t 

menceritakan tentang tadbir orang yang beriman:

 

Maka Yusuf pun mulailah memeriksa tempat-tempat barang 

mereka, sebelum memeriksa tempat barang saudara kandungnya 

(Bunyamin), kemudian ia mengeluarkan benda yang hilang itu dari 

tempat simpanan barang saudara kandungnya. Demikianlah Kami 

jayakan rancangan untuk (menyampaikan hajat) Yusuf. Tidaklah ia 

akan dapat mengambil saudara kandungnya menurut undang-

undang raja, kecuali jika dikehendaki oleh Allah. (Dengan ilmu 

pengetahuan), Kami tinggikan pangkat kedudukan sesiapa yang 

Kami kehendaki; dan tiap-tiap yang berilmu pengetahuan, ada lagi 

di atasnya yang lebih mengetahui.|

(Ayat 76 : Surah Yusuf )

 

Dan kepunyaan-Nya jualah kapal-kapal yang berlayar di lautan 

laksana gunung-ganang. |

(Ayat 24 : Surah ar-Rahmaan )

 

Nabi Yusuf a.s, dengan kepandaiannya, mengadakan muslihat 

untuk membawa saudaranya, Bunyamin, tinggal dengannya. 

Kepandaian dan muslihat yang pada zahirnya diatur oleh Nabi 

Yusuf a.s tetapi dengan tegas Allah s.w.t mengatakan Dia yang 

mengatur muslihat tersebut dengan kehendak dan kebijaksanaan-

Nya. Kapal yang pada zahirnya dibina oleh manusia tetapi dengan 

tegas Allah s.w.t mengatakan kapal itu adalah kepunyaan-Nya.

 

Ayat-ayat di atas memberi pengajaran mengenai tadbir yang

dilakukan oleh manusia. Rasulullah s.a.w sendiri menganjurkan 

agar pengikut-pengikut baginda s.a.w mentadbir kehidupan mereka. 

Tadbir yang disarankan oleh Rasulullah s.a.w ialah tadbir yang 

tidak memutuskan hubungan dengan Allah s.w.t, tidak berganjak 

dari tawakal dan penyerahan kepada Tuhan yang mengatur 

pentadbiran dan perlaksanaan.

 

Janganlah seseorang menyangka apabila dia menggunakan otaknya 

untuk berfikir maka otak itu berfungsi dengan sendiri tanpa tadbir 

Ilahi. Dari mana datangnya ilham yang diperolehi oleh otak itu jika 

tidak dari Tuhan? Allah s.w.t yang membuat otak, membuatnya 

berfungsi dan Dia juga yang mendatangkan buah fikiran kepada 

otak itu.

 

Tadbir yang dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w ialah tadbir 

yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunah. 

Islam hendaklah dijadikan penapis untuk mengasingkan pendapat 

dan tindakan yang benar dari yang salah. Islam menegaskan bahawa 

sekiranya tidak kerana daya dan upaya dari Allah s.w.t, pasti tidak 

ada apa yang dapat dilakukan oleh sesiapa pun.

 

Oleh yang demikian seseorang mestilah menggunakan daya dan

upaya yang dikurniakan Allah s.w.t kepadanya menurut keredaan

Allah s.w.t. Seseorang hamba Allah s.w.t tidak sepatutnya melepaskan diri

dari penyerahan kepada Allah Yang Maha Mengatur.

 

Apabila apa yang diaturkannya berjaya menjadi kenyataan maka dia

akui bahawa kejayaan itu adalah kerana persesuaian aturannya

dengan aturan Allah s.w.t. Jika apa yang diaturkannya tidak menjadi,

diakuinya bahawa aturannya wajib tunduk kepada aturan Allah s.w.t

dan tidak menjadi itu juga termasuk di dalam tadbir Allah s.w.t.

 

Hanya Allah s.w.t yang berhak untuk menentukan. Allah s.w.t

Berdiri Dengan Sendiri, tidak ada sesiapa yang mampu campur tangan

dalam urusan-Nya.

 





  Isi Kandungan

Kembali