NABI IDRIS AS
Kisah Perjalanan Hidup Nabi Idris Alaihissalam
Siri 1 - Pengenalan Kitab Al-Hikam
KUPASAN 1
Al-hikam 1 "Bersandar pada Amal"
"BERSANDARLAH PADA ALLOH JANGAN PADA AMAL”
مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ
عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ
"Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-raja’ (rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana."
Syarah
Ar-raja adalah
istilah khusus dalam terminologi agama, yang bermakna pengharapan kepada Allah Ta'ala.
Pasal Al-Hikam yang pertama ini bukan ditujukan ketika
seseorang berbuat salah, gagal atau melakukan dosa. Karena ar-rajalebih
menyifati orang-orang yang mengharapkan kedekatan dengan Allah, untuk taqarrub.
Kalimat "wujuudi zalal", artinya segala wujud yang akan hancur, alam fana. Menunjukkan seseorang yang hidup di dunia dan masih terikat oleh alam hawa nafsu dan alam syahwat. Itu semua adalah wujud al-zalal, wujud yang akan musnah. Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata kepada Allah Ta'ala.
Seorang mukmin
yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua
wujud yang fana, namun harapannya semata kepada Allah Ta'ala
Jika kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan harapan kepada amal-amal kita, baik itu besar atau pun kecil. Dan hal yang paling mahal dalam suluk adalah hati, yaitu apa yang dicarinya dalam hidup. Dunia ini akan menguji sejauh mana kualitas raja (harap) kita kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya.” Ditanyakan, “Sekalipun engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sekalipun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku.” – H.R. Bukhari dan Muslim
Orang yang
melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Alloh, meminta kepada
Alloh supaya hasil pengharapannya, akan tetapi jangan sampai orang beramal itu
bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan amal ibadah itu
Alloh,. sehingga apabila terjadi kesalahan, seperti, terlanjur melakukan
maksiat, atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia merasa putus asa dan berkurang
pengharapannya kepada Alloh. sehingga apabila berkurang pengharapan
kepada rohmat Alloh, maka amalnyapuan akan berkurang dan akhirnya berhenti
beramal.
seharusnya dalam beramal itu semua dikehendaki dan dijalankan oleh Alloh. sedangkan dirikita hanya sebagai media berlakunya Qudrat Alloh.
Kalimat: Laa ilaha illalloh. Tidak ada Tuhan, berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung, berharap kecuali Alloh, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Alloh.
Pada dasarnya syari’at menyuruh kita berusaha dan beramal. Sedang hakikat syari’at melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar pada karunia dan rahmat Alloh subhanahu wata’ala.
Apabila kita dilarang menyekutukan Alloh dengan
berhala, batu, kayu, pohon, kuburan, binatang dan manusia, maka janganlah
menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri, seakan-akan merasa sudah cukup
kuat dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, taufik,
hidayat dan karunia Allah subhanahu wata’ala.
KUPASAN 2
SYARAH HIKMAH KE-1
مِنْ عَلَامَاتِ الْاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ
عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ
“Di antara tanda-tanda bahwa
seseorang bertumpu pada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya pengharapan
(terhadap rahmat anugerah Allah) ketika terjadi padanya suatu kesalahan atau
dosa.”
Ketahuilah wahai Sālik (11), bahwasanya wajib
bagi orang mu’min yang shādiq (22) untuk berpegang
teguh pada Allah s.w.t. semata. Yakni, jangan sekali-kali kamu bersandar diri
pada selain Allah. Ilmu dan amal ibadahmu itu tidak bisa dijadikan pengharapan.
Jangan pernah sekali-kali membuat keyakinan di dalam hatimu bahwa amal ibadahmu
bisa memasukkanmu ke dalam surga, menyelamatkan dari api neraka, serta
menjadikan wushūl (sampai) kepada Allah. Hal itu tidak bisa
benar-benar tidak bisa.
Apakah kamu tidak mengetahui kisah
Pendeta Bal‘am bin Ba‘ura dan Qārūn yang keduanya adalah ahli ibadah? Qārūn
merupakan ulama Bani Isrā’īl, tetapi saat menghadapi ajal keduanya mati dalam
keadaan kafir. Apakah kamu tidak mengetahui kisah Sayyidah ‘Ā’isyah binti
Muzāhim, walaupun beliau menjadi istri Fir‘aun, beliau adalah kekasih Allah
s.w.t. bahkan beliau akan menjadi istri Rasūlullāh s.a.w. besok di surga.
Akhirnya, baik iman ataupun kufur,
masuk surga atau masuk neraka, itu semua adalah berkat fadhal (karunia)
dan keadilan dari Allah s.w.t. semata. Sama sekali bukan dikarenakan ketaatan
dan kemaksiatan setiap insan. Yang benar adalah, ketaatan dan kemaksiatan itu
menjadi sebab dan menjadi tanda bagi orang yang akan masuk surga atau masuk
neraka, tetapi kesemuanya tidak dapat memberi akibat atau dampak.
Wahai murīd (33), ambillah ibarat
dari kisah putra Nabi Nūḥ a.s. dan kisah istri Nabi Lūth a.s. yang keduanya
mati dalam keadaan kafir. Tegasnya, orang tua tidak bisa menjamin anaknya,
suami tidak bisa menolong istrinya dari siksa Allah s.w.t. walaupun keduanya
adalah seorang nabi. Bahkan, wajib baginya berpegang teguh kepada Allah s.w.t.,
bukan kepada yang lain.
Saat kamu, hai orang yang berakal,
sudah mengetahuinya, maka bersandarlah kamu pada Allah s.w.t. semata dalam
segala keadaan, bahkan dalam urusan rezeki sekali pun. Jangan sekali-kali
hatimu merasa ada sesuatu selain Dia yang dapat memberi manfaat atau memberi
bahaya kepadamu, dan tentu ini tidak akan terjadi.
Dari sini, Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh
menyebutkan tanda-tanda orang yang menyandarkan diri kepada selain Allah s.w.t.
melalui perkataan beliau berikut ini:
مِنْ عَلَامَاتِ الْاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ
عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ
“Di antara tanda-tanda bahwa
seseorang bertumpu pada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya pengharapan
(terhadap rahmat anugerah Allah) ketika terjadi padanya suatu kesalahan atau
dosa.”
Di antara tanda-tanda bahwa seseorang
itu bersandar diri pada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya pengharapan
terhadap rahmat anugerah Allah ketika terjadi padanya suatu kesalahan atau
dosa.
Misalnya, maksiat atau lupa dari
mengingat Allah s.w.t., yaitu ketika hati seseorang berkata setelah melakukan
kesalahan: “Aku pasti akan masuk neraka sebab dosaku ini, dan Allah tidak akan
mengampuni dosaku ini”. Akan tetapi, seharusnya orang yang jatuh dalam sebuah
dosa harus mendekatkan dirinya kepada Allah s.w.t. dan merasa bahwa ia
melakukan dosa itu karena sifat Qahhār (Maha Pemaksa) Allah s.w.t. Takutlah
kamu jika Allah s.w.t. menempatkanmu dalam melakukan maksiat dan selalu
berharaplah pada sifat Maha Pengampun Allah s.w.t. berikut anugerah-Nya.
Demikian halnya, wajib bagi orang yang
memiliki sifat (44), jangan sekali-kali
kamu merasa bahwa kamu ahli berbuat ketaatan dan jangan sekali-kali kamu merasa
ketaatanmu bisa mendekatkan pada Allah s.w.t. atau bisa memasukkanmu ke dalam
surga. Akan tetapi, merasalah bahwa ketaatan yang kamu perbuat itu lantaran
anugerah Allah s.w.t. kepadamu dan kamu sudah dikeluarkan dari perbuatan
maksiat dan kembali kepada Allah s.w.t. Jika tidak ada anugerah Allah, niscaya
kamu tidak akan mau berbuat ketaatan, dan sesungguhnya anugerah Allah yang
diberikan pada kamu itu karena fadhal Allah semata, bukan karena amal yang
menyertaimu.
Jika sudah begitu, maka tidak patut
bagimu untuk memohon pahala kepada Allah atas amal perbuatan yang kamu lakukan,
karena kamu bukanlah orang yang ahli dalam amal-ibadah. Akan tetapi, Allah-lah
yang memberi amal pada kamu dan hendaklah kamu bersyukur atas pemberian yang
dianugerahkan oleh Allah kepadamu. Banyak dari kamu yang dikasihi Allah ialah
diberi ketaatan dan iman, dan tanda murkanya Allah adalah diberikannya maksiat
dan kufur.
Catatan:
KUPASAN 3
Pengenalan
KITAB AL HIKAM
Imam Tajuddin Abu Fadhli Ahmad bin
Muhammad bin
Abdul Karim bin Athaillah Askandary
ِDengan nama Allah yang Maha Pemurah
dan Maha Pengasih.
Selawat dan salam kepada junjungan
besar Nabi Muhammad s.a.w,
keluarga baginda dan seluruh
penolong-penolong agama-Nya.
Sebagian besar generasi terdahulu
mendengar kehebatan kitab al-
Hikam, mereka mendalaminya, meneliti
dan mengutip mutiara yang
ada di dalamnya.
Perjalanan masa telah merubah
manusia, kepergian generasi yang
alim dalam bidang tasawuf amat
dirasai, sehingga kitab al-Hikam
tidak lagi menjadi teks penting
dalam pengajian seharian, sampai
dalam sistem pendidikan formal maupun
yang tidak formal; kecuali sedikit.
Sebagiannya memberi alasan istilah
dan penggunaan bahasa yang
digunakan sukar untuk difahami
dengan sebaiknya. Pandangan ini
ditambah dengan sikap untuk
menjauhi bidang tariqat dan tasawuf,
menyebabkan kitab yang bernilai
ini diabaikan oleh generasi kini.
Oleh itu, terdapat beberapa usaha untuk
mentafsirkan kitab al-
Hikam yang dilakukan oleh sebagian
ulama, dan ternyata khazanah
al-Hikam ibarat air lautan, yang tidak
akan kering bahkan lagi jauh
penggalian dilakukan, maka Banyak lagi
khazanah yang dapat
dikeluarkan. Umpama lautan, di
permukaan manusia belayar, di
dalamnya ribuan jenis makhluk hidup,
ikan, udang, ketam dan
lainnya, manakala di dasarnya menyimpan
jutaan khazanah yang
bernilai.
Buku Syarah al-Hikam ini merupakan
secuil usaha berterusan untuk
menggali mutiara yang masih tersembunyi
di dalam kitab yang
berharga ini. Usaha ini diharapkan
dapat menjelaskan kepada
umum beberapa persoalan hidup dan
kehidupan yang dilalui oleh
manusia, karena putaran kehidupan
manusia yang berkisar kepada
keperluan zahir dan batin, tidak akan
terlepas dari merasai betapa
agungnya penciptaan manusia. Akibat
fitnah dunia yang dilalui oleh
manusia, maka segala khazanah yang
berharga telah hilang
penilaiannya yang sebenar, menyebabkan
manusia bertungkus
lumus mencari sesuatu yang akan
ditinggalkan; manakala yang
akan dibawa diabaikan.
Kitab ini juga diharapkan dapat memberi
rangsangan kepada kita
semua untuk mendekati kembali
jalan-jalan kebenaran yang sebenar
melalui usaha mendekatkan diri terhadap
Allah s.w.t. Usaha ini
tentulah lebih mudah karena penulis menjelaskan
penunjuk-
penunjuk bagi melaluinya. Dengan gaya
bahasa yang mudah dan
ulasan yang baik, maka diharapkan buku
Syarah al-Hikam ini
menjadi panduan bagi umat Islam umumnya
dan pencinta
kebenaran hakiki memahami jalan-jalan
yang sebenar bagi
mendekatkan diri kepada Allah s.w.t.
Semoga dengan petunjuk Ilahi yang
memandu kita kepada jalan
kebenaran saya mengharapkan buku Syarah
al-Hikam ini dapat
membantu pembaca memahami khazanah yang
amat bernilai yang
ada di dalam al-Hikam. Di samping ianya
menambah koleksi
tafsiran dan syarah terhadap kitab ini
yang dilakukan oleh para
ulama-ulama yang lain.
Saya mengakui penelitian saya yang
singkat mungkin terdapat
berbagai kelemahan, dan saya
mengharapkan agar kita menjadi
peneliti yang baik bagi memperindahkan
lagi khazanah ilmu ini.
Lantaran itu, sebarang pandangan baik
dan nasehat yang berguna
diharapkan dapat kita kutip sampai dari
teks asalnya ataupun syarah
yang dilakukan oleh penulis. Semoga
kitab ini dapat dimanfaatkan
oleh para pembaca sekalian dan
sekaligus memantapkan aqidah dan
ibadah kita selaras dengan tugas kita
sebagai hamba Allah yang
bertaqwa.
Sekian, wassalamualaikum wrh wb.
Akhukum fil Islam
Dato‟ Hj. Tuan Ibrahim bin Tuan
Man
Pensyarah Kanan ITM Cawangan
Pahang,
Bandar Pusat Jengka, Pahang.
MUKADIMAH
Dengan Dengan Menyebut nama Allah, Yang
Maha Pemurah, lagi
Maha Penyayang. Segala puji-pujian bagi
Allah, Pemelihara
sekalian alam. Selawat disertai salam
atas yang paling mulia di
antara Rasul-rasul, Muhammad Rasul yang
Amin, dan atas
sekalian keluarga dan sahabat-sahabat
baginda saw.
Saya rido Allah adalah Tuhan, Islam
adalah Agama, Nabi
Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul, al-Quran
adalah Imam,
Kaabah adalah Kiblat dan Mukmin adalah
saudara.
Wahai tuhanku! Engkau jualah maksud dan
tujuanku dan keridoan
Engkau jua yang saya cari. Saya
mengharapkan kasih sayang-Mu
dan kehampiran-Mu.
Kitab al-Hikam karangan Imam Tajuddin
Abu Fadhli Ahmad bin
Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah
Askandary boleh
dianggap sebagai buku teks yang perlu
dipelajari oleh orang-orang
yang mau mendalami ilmu tauhid /
tasawuf serta berjalan pada jalan
kerohanian. Dalamnya mengandungi
kata-kata hikmat yang boleh
dijadikan petunjuk jalan menuju Allah
s.w.t.
Pada mulainya saya mengenali Kitab
al-Hikam pada namanya saja.
Apa yang diperkatakan adalah kitab ini
merupakan sebuah kitab
yang sukar difahami. Hanya sedikit saja
bilangan guru-guru yang
mampu mengajarkan kitab ini. Anggapan
yang telah tertanam
dalam fikiranku adalah hanya
orang-orang yang khusus saja layak
mempelajari kitab tersebut. Oleh yang
demikian saya tidak pernah
mencoba untuk mempelajarinya.
Kehendak Allah s.w.t mengatasi segala
perkara. Apabila saya
dimasukkan ke dalam bidang kerohanian
timbullah minat dan
kecenderungan untuk mengetahui isi
Kitab al-Hikam.
Saya mulai mempelajari syarah-syarah
kitab tersebut yang boleh
didapati di kedai-kedai buku. Sedikit
sekali kefahaman yang terbuka
kepada saya. Kemudian saya
mempelajari kitab-kitab tasawuf yang
boleh saya dapati dari
berbagai-bagai sumber.
Berbekalkan sedikit pengetahuan
dalam ilmu tasawuf, saya mempelajari
semulai Kitab al-Hikam. Apa yang
saya fahamkan itu saya tuliskan
sebagai satu cara pembelajaran.
Beberapa orang sahabat telah
membaca teks yang asal dan memberi
teguran yang membina.
Hasil dari teguran itu saya tulis
semulai Syarah al-Hikam ini.
Apa yang saya fahamkan dan
perolehi dari khazanah al-Hikam ingin saya
kongsikan dengan saudara-saudara
Muslimku. Mudah-mudahan
Allah s.w.t memberikan taufik dan
hidayat kepada kita semua.
Penyusun Syarah al-Hikam ini bukanlah
seorang yang alim dalam
ilmu tasawuf, apa lagi ilmu fikah. Oleh
itu adalah baik jika saudara
saudara yang membaca kitab ini
merujukkan kepada orang yang
alim. Jika terdapat perbedaan pendapat
di antara isi kitab ini dengan
perkataan orang alim, anggaplah
kefahaman penyusun telah tersilap
dan berpeganglah kepada perkataan orang
alim.
Penyusun memohon kemaafan di atas
kesilapan tersebut. Sekiranya apa
yang diperkatakan dalam kitab ini
adalah benar, maka sesungguhnya
kebenaran itu dari Allah s.w.t. Hanya
Dia yang patut menerima pujian.
Hanya kepada-Nya kita bersyukur. Wahai
saudara-saudaraku yang
saya kasihi. Ilmu adalah nur. Hati
juga nur. Dan, Nur adalah salah satu nama
daripada Nama-nama Allah s.w.t. Nur
Ilahi, hati dan ilmu berhubung rapat.
Hati yang suci bersih menjadi bekas
yang sesuai untuk menerima pancaran
Nur Ilahi. Hati yang dipenuhi oleh
Nur Ilahi mampu menerima Nur Ilmu
dari alam ghaib. Nur Ilmu yang dari
alam ghaib itu membuka hakikat alam
dan hakikat Ketuhanan.
Hati yang menerima pengalaman hakikat
memancarkan nurnya
kepada akal. Akal yang menerima
pancaran Nur Hati akan dapat
memahami perkara ghaib yang dinafikan
oleh akal biasa. Bila hati
dan akal sudah beriman hilanglah
keresahan pada jiwa dan
kekeliruan pada akal.
Lahirlah ketenangan yang sejati.
Hiduplah nafsu muthmainnah
menggerakkan sekalian anggota zahir dan
batin supaya berbakti
kepada Allah s.w.t. Jadilah insan itu
seorang hamba yang sesuai
zahirnya dengan Syariat dan batinnya
dengan kehendak dan irodat
Allah s.w.t. Bila Allah s.w.t
memilihnya, maka jadilah dia seorang
insan Hamba Rabbani, Khalifah Allah
yang diberi tugas khusus
dalam melaksanakan kehendak Allah s.w.t
di bumi.
Khalifah Allah muncul dalam
berbagai-bagai bidang. Mana-mana
bidang yang dipimpin oleh Muslim yang
bertaraf Khalifah Allah
akan menjadi cemerlang dan kaum
Muslimin akan mengatasi kaum-
kaum lain dalam bidang berkenaan.
Khalifah ekonomi akan membawa
ekonomi umat Islam mengatasi
ekonomi semua kaum lain. Khalifah
tentera akan membebaskan
umat Islam dari kaum penjajah dan
penindas yang zalim.
Khalifah dakwah akan membukakan
Islam yang sebenarnya dan
membersihkannya dari bidaah,
kekarutan dan kesesatan.
Bila semua bidang kehidupan dipimpin
oleh Khalifah Muslim
maka umat Islam akan menjadi umat
yang teratas dalam segala bidang.
Mulailah bekerja membentuk hati agar ia
menjadi bercahaya
dengan Nur Ilahi. Nur Ilahi adalah
tentera bagi hati yang akan
mengalahkan segala jenis senjata dan
segala jenis sistem, walau
bagaimana canggih sekali pun. Bila Nur
Ilahi sudah memenuhi
ruang hati umat Islam maka umat Islam
akan menjadi satu golongan
yang tidak akan dapat dikalahkan oleh
siapa pun, dalam bidang apa
sekalipun. Insya-Allah!
Tidaklah Allah memberati suatu diri
melainkan sekadar terpikul
olehnya. Dia akan mendapat pahala dari
apa yang dia usahakan
dan akan mendapat siksa atas apa yang
dia usahakan pula. Wahai
Tuhan kami! Janganlah Engkau tuntut
kami di atas kealpaan kami
dan kekeliruan kami. Wahai Tuhan kami!
Janganlah Engkau
pikulkan ke atas kami siksa,
sebagaimana yang pernah Engkau
pikulkan atas orang-orang yang sebelum
kami.
Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau
timpakan ke atas kami
perintah yang tidak bertenaga kami
dengan dia, dan maafkanlah
(dosa-dosa) kami dan ampunilah
kami dan kasihanilah kami;
Engkau jualah Penolong kami. Maka
tolonglah kami atas
mengalahkan kaum yang tidak mau
percaya. |
(Ayat 286 : Surah al-Baqarah )
Dan tulislah untuk kami satu kebaikan
di dunia dan juga akhirat.
Sesungguhnya kami telah bertaubat
kepada Engkau.
( Ayat 156 : Surah al-A‟raaf )
Wahai Tuhan kami! Berilah kami di dunia
kebaikan dan di akhirat
pun kebaikan. Dan peliharalah kami
daripada seksaan neraka.
( Ayat 201 : Surah al-Baqarah )
Amin! Ya Rabbal „Aalamin.
Wassalam.
MOHAMAD NASIR BIN MAJID (TOK FAQIR
AN-NASIRIN)
Seberang Takir Terengganu Darul Iman
1. Perbuatan Zahir
dan Suasana Hati
َSEBAGIAN DARIPADA TANDA BERSANDAR
KEPADA AMAL
(PERBUATAN ZAHIR) ADALAH BERKURANGAN
HARAPANNYA
(SUASANA HATI) TATKALA BERLAKU PADANYA
KESALAHAN.
Imam Ibnu Athaillah memulaikan Kalam
Hikmat beliau dengan
mengajak kita merenung kepada hakikat
amal. Amal boleh
dibagikan kepada dua jenis yaitu
perbuatan zahir dan perbuatan hati
atau suasana hati berhubung dengan
perbuatan zahir itu. Beberapa
orang boleh melakukan perbuatan zahir
yang serupa tetapi suasana
hati berhubung dengan perbuatan zahir
itu tidak serupa.
Kesan amalan zahir kepada hati
berbeda antara seorang dengan seorang
yang lain. Jika amalan zahir itu
mempengaruhi suasana hati, maka
hati itu dikatakan bersandar kepada
amalan zahir. Jika hati
dipengaruhi juga oleh amalan hati, maka
hati itu dikatakan
bersandar juga kepada amal, sekalipun
ianya amalan batin. Hati
yang bebas daripada bersandar kepada
amal sama ada amal zahir
atau amal batin adalah hati yang
menghadap kepada Allah s.w.t dan
meletakkan pergantungan kepada-Nya
tanpa membawa sebarang
amal, zahir atau batin, serta menyerah
sepenuhnya kepada Allah
s.w.t tanpa sebarang takwil atau
tuntutan.
Hati yang demikian tidak menjadikan
amalnya, zahir dan batin,
walau berapa banyak sekalipun, sebagai
alat untuk tawar menawar
dengan Tuhan bagi mendapatkan sesuatu.
Amalan tidak menjadi
perantaraan di antaranya dengan
Tuhannya. Orang yang seperti ini
tidak membataskan kekuasaan dan
kemurahan Tuhan untuk tunduk
kepada perbuatan manusia.
Allah s.w.t Yang Maha Berdiri
Dengan Sendiri berbuat sesuatu
menurut kehendak-Nya tanpa
dipengaruhi oleh siapa dan sesuatu.
Apa saja yang mengenai Allah s.w.t
adalah mutlak, tiada had,
sempadan dan perbatasan. Oleh karena
itu orang arif tidak menjadikan
amalan sebagai sempadan yang mengongkong
ketuhanan Allah s.w.t
atau „memaksa‟ Allah s.w.t berbuat
sesuatu menurut perbuatan makhluk.
Perbuatan Allah s.w.t berada di hadapan
dan perbuatan makhluk
di belakang. Tidak pernah terjadi
Allah s.w.t mengikuti perkataan
dan perbuatan seseorang atau
sesuatu.Sebelum menjadi seorang
yang arif, hati manusia memang
berhubung rapat dengan amalan
dirinya, baik yang zahir mau pun
yang batin.
Manusia yang kuat bersandar kepada
amalan zahir adalah mereka
yang mencari faedah keduniaan dan
mereka yang kuat bersandar
kepada amalan batin adalah yang mencari
faedah akhirat.
Kedua-dua jenis manusia tersebut berkepercayaan
bahwa amalannya
menentukan apa yang mereka akan
perolehi baik di dunia dan juga
di akhirat.
Kepercayaan yang demikian
kadang-kadang membuat manusia
hilang atau kurang pergantungan
dengan Tuhan. Pergantungan
mereka hanyalah kepada amalan
semata-mata ataupun jika mereka
bergantung kepada Allah s.w.t,
pergantungan itu bercampur dengan
keraguan.
Seseorang manusia boleh memeriksa diri
sendiri apakah kuat atau
lemah pergantungannya kepada Allah
s.w.t. Kalam Hikmat 1 yang
dikeluarkan oleh Ibnu Athaillah memberi
petunjuk mengenainya.
Lihatlah kepada hati apabila kita
terperosok ke dalam perbuatan
maksiat atau dosa. Jika kesalahan yang
demikian membuat kita
berputus asa daripada rahmat dan
pertolongan Allah s.w.t itu
tandanya pergantungan kita kepada-Nya
sangat lemah.
Firman-Nya:
“Wahai anak-anakku! Pergilah dan
intiplah khabar berita
mengenai Yusuf dan saudaranya
(Bunyamin), dan janganlah kamu
berputus asa dari rahmat serta
pertolongan Allah. Sesungguhnya
tidak berputus asa dari rahmat dan
pertolongan Allah melainkan
kaum yang kafir ”. |
( Ayat 87 : Surah Yusuf )
Ayat di atas menceritakan bahwa orang
yang beriman kepada Allah
s.w.t meletakkan pergantungan
kepada-Nya walau dalam keadaan
bagaimana sekali pun. Pergantungan
kepada Allah s.w.t membuat
hati tidak berputus asa dalam
menghadapi dugaan hidup. Kadang-
kadang apa yang diingini, dirancangkan
dan diusahakan tidak
mendatangkan hasil yang diharapkan.
Kegagalan mendapatkan sesuatu yang
diingini bukan bermakna tidak mene
rima pemberian Allah s.w.t. Selagi
seseorang itu beriman dan
bergantung kepada-Nya selagi itulah Dia
melimpahkan rahmat-Nya. Kegagalan
memperolehi apa yang dihajatkan bukan
bermakna tidak mendapat
rahmat Allah s.w.t.
Apa juga yang Allah s.w.t lakukan
kepada orang yang beriman pasti
terdapat rahmat-Nya, walaupun
dalam soal tidak menyampaikan
hajatnya. Keyakinan terhadap yang demikian
menjadikan orang
yang beriman tabah menghadapi
ujian hidup, tidak sekali-kali berputus asa.
Mereka yakin bahwa apabila mereka
sandarkan segala perkara kepada
Allah s.w.t, maka apa juga amal
kebaikan yang mereka lakukan tidak
akan menjadi sia-sia.
Orang yang tidak beriman kepada Allah
s.w.t berada dalam situasi
yang berbeda. Pergantungan mereka hanya
tertuju kepada amalan
mereka, yang terkandung di dalamnya
ilmu dan usaha. Apabila
mereka mengadakan sesuatu usaha
berdasarkan kebolehan dan
pengetahuan yang mereka ada, mereka
mengharapkan akan
mendapat hasil yang setimpal. Jika ilmu
dan usaha (termasuklah
pertolongan orang lain) gagal
mendatangkan hasil, mereka tidak
mempunyai tempat bersandar lagi.
Jadilah mereka orang yang
berputus asa. Mereka tidak dapat
melihat hikmat kebijaksanaan
Allah s.w.t mengatur perjalanan takdir
dan mereka tidak mendapat
rahmat dari-Nya.
Jika orang kafir tidak bersandar kepada
Allah s.w.t dan mudah
berputus asa, di kalangan sebagian
orang Islam juga ada yang
demikian, bergantung setakat mana
sifatnya menyerupai sifat orang
kafir. Orang yang separti ini melakukan
amalan karena kepentingan
diri sendiri, bukan karena Allah s.w.t.
Orang ini mungkin
mengharapkan dengan amalannya itu dia
dapat mengecapi
kemakmuran hidup di dunia.
Dia mengharapkan semoga amal kebajikan
yang dilakukannya dapat
mengeluarkan hasil dalam bentuk
bertambah rezekinya, kedudukannya
atau pangkatnya, orang lain
semakin menghormatinya dan dia juga
dihindarkan daripada bala
penyakit, kemiskinan dan sebagainya.
Bertambah banyak amal kebaikan
yang dilakukannya bertambah
besarlah harapan dan keyakinannya
tentang kesejahteraan hidupnya.
Sebagian kaum muslimin yang lain
mengaitkan amal kebaikan
dengan kemuliaan hidup di akhirat.
Mereka memandang amal salih sebagai
tiket untuk memasuki syurga,
juga bagi menjauhkan azab api
neraka. Kerohanian orang yang
bersandar kepada amal sangat lemah,
terutamanya mereka yang
mencari keuntungan keduniaan dengan
amal mereka. Mereka tidak
tahan menempuh ujian. Mereka mengharapkan
perjalanan hidup
mereka senantiasa selasai dan segala-segalanya
berjalan menurut
apa yang dirancangkan.
Apabila sesuatu itu berlaku di luar
jangkauan, mereka cepat panik dan
gelisah. Bala bencana membuat mereka
merasakan yang merekalah
manusia yang paling malang di atas muka
bumi ini. Bila berjaya
memperoleh sesuatu kebaikan, mereka
merasakan kejayaan itu
disebabkan kepandaian dan kebolehan
mereka sendiri. Mereka
mudah menjadi ego serta suka
menyombong.
Apabila rohani seseorang bertambah
teguh dia melihat amal itu
sebagai jalan untuknya mendekatkan diri
dengan Tuhan. Hatinya
tidak lagi cenderung kepada faedah
duniawi dan ukhrawi tetapi dia
berharap untuk mendapatkan kurniaan
Allah s.w.t separti terbuka
hijab-hijab yang menutupi hatinya.
Orang ini merasakan amalnya
yang membawanya kepada Tuhan.
Dia sering mengaitkan pencapaiannya
dalam bidang kerohanian
dengan amal yang banyak dilakukannya
separti berzikir,
sunat, berpuasa dan lain-lain.
Bila dia tartinggal melakukan sesuatu
amal yang biasa dilakukannya atau
bila dia tergelincir melakukan
kesalahan maka dia merasa
dijauhkan oleh Tuhan. Inilah orang
yang pada peringkat permulaan
mendekatkan dirinya dengan Tuhan
melalui amalan tarekat
tasawuf.
Jadi, ada golongan yang bersandar
kepada amal semata-mata dan
ada pula golongan yang bersandar kepada
Tuhan melalui amal.
Kedua-dua golongan tersebut berpegang
kepada keberkahan amal
dalam mendapatkan sesuatu. Golongan
pertama kuat berpegang
kepada amal zahir, yaitu perbuatan
zahir yang dinamakan usaha
atau ikhtiar. Jika mereka bersalah
memilih ikhtiar, hilanglah
harapan mereka untuk mendapatkan apa
yang mereka hajatkan.
Ahli tarekat yang masih diperingkat
permulaian pula kuat bersandar
kepada amalan batin separti sembahyang
dan berzikir. Jika mereka
tartinggal melakukan sesuatu amalan
yang biasa mereka lakukan,
akan berkurangan harapan mereka untuk
mendapatkan anugerah
dari Allah s.w.t. Sekiranya mereka
tergelincir melakukan dosa, akan
putuslah harapan mereka untuk
mendapatkan anugerah Allah s.w.t.
Dalam perkara bersandar kepada amal
ini, termasuklah juga
bersandar kepada ilmu, sama ada ilmu
zahir atau ilmu batin. Ilmu
zahir adalah ilmu penkehendakan dan
pengurusan sesuatu perkara
menurut kekuatan akal. Ilmu batin pula
adalah ilmu yang
menggunakan kekuatan gaib bagi
menyampaikan hajat. Ia
termasuklah penggunaan ayat-ayat
al-Quran dan jampi.
Kebanyakan orang meletakkan keberkahan
kepada ayat, jampi dan
usaha, hinggakan mereka lupa kepada
Allah s.w.t yang meletakkan
keberkahan kepada tiap sesuatu
itu.
Seterusnya, sekiranya Tuhan izinkan,
kerohanian seseorang
meningkat kepada makam yang lebih
tinggi. Nyata di dalam hatinya
maksud kalimat:
َ
Tiada daya dan upaya kecuali beserta
Allah.
“Padahal Allah yang mencipta kamu
dan benda-benda yang kamu perbuat
itu!”
( Ayat 96 : Surah as- Saaffaat )
Orang yang di dalam makam ini tidak
lagi melihat kepada amalnya,
walaupun banyak amal yang dilakukannya
namun, hatinya tetap
melihat bahwa semua amalan tersebut
adalah kurniaan Allah s.w.t
kepadanya. Jika tidak karena taufik dan
hidayat dari Allah s.w.t
tentu tidak ada amal kebaikan yang
dapat dilakukannya. Allah s.w.t
berfirman:
“Ini ialah dari limpah kurnia Tuhanku,
untuk mengujiku adakah
aku bersyukur atau aku tidak
mengenangkan nikmat pemberian-
Nya. Dan (sebenarnya) siapa yang
bersyukur maka faedah
syukurnya itu hanyalah terpulang kepada
dirinya sendiri, dan siapa
yang tidak bersyukur (maka tidaklah
menjadi masalah kepada
Allah), karena sesungguhnya Tuhanku
Maha Kaya, lagi Maha
Pemurah”.|
( Ayat 40 : Surah an-Naml )
Dan tiadalah kamu berkemauan (melakukan
sesuatu perkara)
melainkan dengan cara yang dikehendaki
Allah; sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha
Bijaksana
(mengaturkan sebarang perkara yang
dikehendaki-Nya). Ia
memasukkan siapa yang kehendaki-Nya
(menurut aturan yang
ditetapkan) ke dalam rahmat-Nya (dengan
ditempatkan-Nya di
dalam syurga); dan orang-orang yang
zalim, Ia menyediakan untuk
mereka azab seksa yang tidak terperi
sakitnya. |
(Ayat 30-31 : al-Insaan )
Segala-galanya adalah kurniaan Allah
s.w.t dan menjadi milik-Nya.
Orang ini melihat kepada takdir yang
Allah s.w.t tentukan, tidak
terlihat olehnya keberkahan perbuatan
makhluk termasuklah
perbuatan dirinya sendiri. Makam ini
dinamakan makam ariffin
yaitu orang yang mengenal Allah s.w.t.
Golongan ini tidak lagi
bersandar kepada amal namun, merekalah
yang paling kuat
mengerjakan amal ibadat.
Orang yang masuk ke dalam lautan
takdir, rido dengan segala yang
ditentukan Allah s.w.t, akan senantiasa
tenang, tidak berdukacita
bila kehilangan atau ketiadaan sesuatu.
Mereka tidak melihat
makhluk sebagai penyebab atau pengeluar
kesan.
Di awal perjalanan menuju Allah s.w.t,
seseorang itu kuat beramal
menurut tuntutan syariat. Dia melihat
amalan itu sebagai kendaraan
yang boleh membawanya hampir dengan
Allah s.w.t. Semakin kuat
dia beramal semakin besarlah harapannya
untuk berjaya dalam
perjalanannya.
Apabila dia mencapai satu tahap,
pandangan mata hatinya terhadap
amal mulai berubah. Dia tidak lagi
melihat amalan sebagai alat atau
penyebab. Pandangannya beralih kepada
kurniaan Allah s.w.t.
Dia melihat semua amalannya adalah
kurniaan Allah s.w.t kepadanya
dan kehampirannya dengan Allah s.w.t
juga kurniaan-Nya. Seterusnya
terbuka hijab yang menutupi dirinya
dan dia mengenali dirinya dan
mengenali Tuhannya.
Dia melihat dirinya sangat lemah, hina,
jahil, serba kekurangan dan
faqir. Tuhan adalah Maha Kaya,
Berkuasa, Mulia, Bijaksana dan
Sempurna dalam segala segi. Bila dia
sudah mengenali dirinya dan
Tuhannya, pandangan mata hatinya
tertuju kepada Kudrat dan
Iradat Allah s.w.t yang meliputi segala
sesuatu dalam alam maya
ini. Jadilah dia seorang arif yang
senantiasa memandang kepada
Allah s.w.t, berserah diri kepada-Nya,
bergantung dan berhajat
kepada-Nya. Dia hanyalah hamba Allah
s.w.t yang faqir.