Siri 2 - No. 2 : Ahli Asbab dan Ahli Tajrid
KUPASAN 1
SYARAH HIKMAH KE-2
إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدُ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ
مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ وَ إِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ
إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ انْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ
“Keinginanmu utk tajrīd (melulu
beribadah tanpa berusaha mencari dunia), padahal Allah masih menempatkan
engkau pada asbāb (harus berusaha untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari),
termasuk syahwat nafsu yang samar. Sebaliknya keinginanmu untuk asbāb
(berusaha), padahal Allah telah menempatkan dirimu pada tajrīd (melulu
beribadah tanpa berusaha), maka demikian itu berarti menurun dari semangat yang
tinggi.”
Hendaknya orang yang sudah mencapai
makrifah Allah mau menerima apa pun yang ditentukan oleh Allah baik (tingkatan)
usaha atau lainnya.
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī
berkata:
إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدُ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ
مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ
“Keinginanmu untuk tajrīd (melulu beribadah
tanpa berusaha mencari dunia), padahal Allah masih menempatkan engkau
pada asbāb (harus berusaha untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari), termasuk
syahwat nafsu yang samar.”
Keinginanmu untuk meninggalkan kasab (usaha)
mencari ridhā’ Allah, padahal Allah telah menempatkanmu pada maqām (51) kasab itu
termasuk syahwat nafsu yang samar.
Boleh jadi, keinginanmu untuk
meninggalkan kasab (usaha), padahal Allah telah menempatkanmu
pada (maqām) kasab itu adalah keinginan nafsu agar
engkau dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang zuhud. Dengan demikian,
engkau termasuk orang yang tidak mempunyai tata-krama kepada Allah s.w.t.
karena tidak mau menerima apa yang sudah ditentukan oleh Allah untukmu. Engkau
menjadi orang yang melampaui kehendak Allah. Adapun tanda bahwa engkau
ditempatkan pada maqām kasab itu adalah dengan wujud
selamatnya agamamu. Engkau tetap berusaha, tetap melakukan ibadah, shalat
berjamā‘ah, mengaji, memperbanyak ketaatan, serta bekerja memenuhi nafkah
keluarga.
Berubahnya keinginanmu untuk
meninggalkan kasab itu temasuk bujuk rayu iblis. Maka
sesungguhnya iblis terkadang berucap kepadamu: “Jila engkau meninggalkan kasab niscaya
engkau menjadi golongan orang-orang yang dicintai oleh Allah, menjadi golongan
orang-orang yang ber-tawakkal kepada Allah, bisa dekat dengan
Allah, dan semakin taat kepada Allah. Jika engkau mau menurutinya maka setelah
meninggalkan kasab engkau akan dilanda kegalauan dalam imanmu,
hilanglah ketauhidanmu, bersandar diri pada makhluk sebab sempitnya rezekimu,
dan selalu mengharapkan pemberian makhluk. Pada akhirnya, engkau yang asalnya
menyembah Allah berbalik menjadi menyembah makhluk. Dengan begitu, hilanglah
keimananmu, dan bergembiralah Iblis.
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī
berkata:
وَ إِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي
التَّجْرِيْدِ انْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ
“Sebaliknya keinginanmu untuk asbāb
(berusaha), padahal Allah telah menempatkan dirimu pada tajrīd (melulu
beribadah tanpa berusah), maka demikian itu berarti menurun dari semangat yang
tinggi.”
Keinginanmu untuk asbāb (berusaha),
padahal Allah sudah menempatkanmu untuk meninggalkan usaha itu bisa menurunkan
dirimu dari semangat yang tinggi pada semangat yang lebih rendah. Karena
setelah engkau mengharap hanya kepada Allah disertai dengan keayakinan iman,
bahwa hanya Allah-lah Dzat yang Maha Memberi Rezeki, maka engkau akan kembali
berharap kepada makhluk. Angan-anganmu akan menjadi hina.
Alhasil, wajib bagi orang yang sudah
makrifah Allah rela menerima apapun maqām (tempat) yang
ditentukan oleh Allah dan menetapinya, hingga Allah memindahkannya pada maqām yang
lain. Adapun tanda engkau ditempatkan pada maqām tajrīd (melulu
beribadah tanpa berusaha mencari dunia atau meningalkan usaha) adalah mudahnya
engkau mendapatkan penghidupan dari manapun datangnya rezeki tersebut. Dengan
begitu, engkau tidak mengharap-harapkan pemberian makhluk, tidak tamak terhadap
haknya makhluk, dan hati pun tetap tenang meskipun rezekinya sulit. Ketika
hatimu telah terpatri hanya kepada Allah, istaqamah dalam beribadah, tidak
meninggalkan ibadah karena sulitnya rezeki, jika engkau sudah mendapatkan
hal-hal tadi pada dirimu maka, wajib bagimu untuk meninggalkan kasab (usaha)
dan menerima anugerah yang diberikan Allah.
Wallāhu a‘lam.
Catatan:
- 5). Maqām adalah
sebuah istilah dunia sufistik yang menunjukkan arti tentang suatu nilai
etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang sālik (seorang
hamba perambah kebenaran spiritual dalam praktik ibadah) melalui beberapa
tingkatan mujāhadah secara gradual dari satu tingkatan
laku batin menuju pencapaian tingkatan maqām berikutnya
dengan sebentuk amalan (mujāhadah) tertentu. Tegasnya, ia adalah
pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian yang tak kenal lelah.
Syaratnya berat, beban kewajibannya pun juga berat. Ketika itu, seseorang
yang sedang menduduki atau memperjuangkan untuk menduduki sebuah maqām (proses
pencarian) harus menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam maqām yang
sedang dikuasainya. Karena itu, dia akan selalu sibuk dengan
berbagai riyādhah (latihan jiwa). Seseorang tidak akan
mencapai suatu maqām dari maqām sebelumnya
selama dia belum memenuhi ketentuan, hukum dan syarat maqām yang
hendak dilangkahinya atau yang sedang ditingkatkannya. Orang yang belum
mampu bersikap qanā‘ah (kepuasan batin terhadap pemberian
Allah, meski amat kecil), maka tawakkal-nya tidak sah. Orang
yang belum mampu berpasrah diri kepada Allah maka penyerahan totalitas
dirinya (kemuslimannya) tidak sah. Orang yang belum taubat maka
penyesalannya tidak sah. Orang yang belum wirā‘i (sikap
hati-hati dalam penerapan hukum), maka ke-zuhud-annya tidak sah.
Berarti, maqām zuhud, umpamanya, tidak mungkin tercapi sebelum
pelakunya itu sudah mewujudkan maqām wirā‘i. Secara bahasa “al-maqām”
berarti “al-iqāmah”, yaitu penegakan atau aktualisasi suatu nilai
moral. Hal ini seperti kata “al-madkhal” yang berarti “idkhāl”,
yaitu proses pemasukan atau memasukkan. Sebaliknya, term “al-makhraj”
berarti “al-ikhrāj”, yaitu proses pengeluaran. Karena itu,
keberadaan maqām seseorang tidak dianggap sah kecuali
dengan penyaksian kehadiran Allah secara khusus dalam nilai maqām yang
diaktualkannya, mengingat sahnya suatu bangunan perintah Tuhan hanya
berdiri di atas dasar yang sah pula. Lihat: Abul-Qāsim ‘Abd-ul-Karīm
Hawāzin al-Qusyairī an-Naisābūrī, ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah,
al-Maktabah al-‘Ashriyyah, cet. ke-1, Libanon, 2001, hal. 56-57. ↩
KUPASAN 2
Al-Hikam
Pasal 2
Syahwat
dan Himmah
“TAJRID
dan KASAB”
إِرَ ادَ تُــكَ الـتَّجْرِ يْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ
اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَ ةِ الْخَفِـيـَّةِ.
وَ إِرَادَ تُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ
يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ
"Keinginanmu
untuk tajrid, sementara Allah masih menegakkan engkau di
dalam asbab, merupakan syahwah yang tersamar
(halus). Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah sudah
menegakkan engkau dalam tajrid, merupakan suatu kejatuhan
dari himmah yang tinggi."
Syarah
Dalam pasal ini, Ibnu
Atha’illah menggunakan beberapa istilah baku dalam khazanah sufi, yang harus
dipahami terlebih dahulu agar mendapatkan pemahaman yang utuh. Istilah-istilah
itu adalah: tajrid, asbab, syahwat danhimmah.
Tajrid secara
bahasa memiliki arti: penanggalan, pelepasan, atau pemurnian. Secara
maknawi adalah penanggalan aspek-aspek dunia dari jiwa (nafs), atau
secara singkat bisa dikatakan sebagai pemurnian jiwa.
Asbab secara
bahasa memiliki arti: sebab-sebab atau sebab-akibat. Secara maknawi adalah
status jiwa (nafs) yang sedang Allah tempatkan dalam dunia
sebab akibat. Semisal Iskandar Zulkarnain yang Allah tempatkan sebagai raja di
dunia, mengurusi dunia sebab-akibat.
Syahwah (atau syahwat)
secara bahasa memiliki arti: tatapan yang kuat, atau keinginan. Secara maknawi
merupakan keinginan kepada bentuk-bentuk material dan duniawi, seperti
harta, makanan dan lawan jenis. Berbeda dari syahwat, hawa-nafsu (disingkat
“nafsu”) adalah keinginan kepada bentuk-bentuk non-material, seperti ego,
kesombongan, dan harga diri.
Himmah merupakan
lawan kata dari syahwat, yang juga memiliki arti keinginan. Namun
bila syahwat merupakan keinginan yang rendah, maka himmah adalah
keinginan yang tinggi, keinginan menuju Allah.
Adakalanya Allah menempatkan seseorang dalam
dunia asbab dalam kurun tertentu—misalnya, untuk mencari
nafkah, mengurus keluarga, atau memimpin negara. Bila seseorang sedang Allah
tempatkan dalam kondisi asbab itu, namun dia berkeinginan
untuk tajrid (misalkan dengan ber-uzlah), maka itu dikatakan
sebagai syahwat yang samar. Sebaliknya, saat Allah menempatkan
seseorang dalam tajrid, namun dia justru menginginkan asbab,
maka itu merupakan sebuah kejatuhan dari keinginan yang tinggi.
Inilah pentingnya untuk berserah diri dalam
bersuluk, agar mengetahui kapan seseorang harus tajrid dan
kapan seseorang harus terjun dalam dunia asbab. Semua kehendak
seorang salik haruslah bekesesuaian dengan Kehendak Allah.
Sebagai
seorang yang beriman, haruslah berusaha menyempurnakan imannya dengan berfikir
tentang ayat-ayat Alloh, dan beribadah dan harus tahu bahwa tujuan hidup itu
hanya untuk beribadah(menghamba) kepada Alloh,sesuai tuntunan Al-qur’an.
Tetapi
setelah ada semangat dalam ibadah, kadang ada yang berpendapat bahwa salah satu
yang merepoti/mengganggu dalam ibadah yaitu bekerja(kasab). Lalu berkeinginan
lepas dari kasab/usaha dan hanya ingin melulu beribadah.
Keinginan
yang seperti ini termasuk keinginan nafsu yang tersembunyi/samar.
Sebab
kewajiban seorang hamba, menyerah kepada apa yang dipilihkan oleh majikannya.
Apa lagi kalau majikan itu adalah Alloh yang maha mengetahui tentang apa yang
terbaik bagi hambanya.
Dan
tanda-tanda bahwa Alloh menempatkan dirimu dalam golongan orang yang harus
berusaha [kasab], apabila terasa ringan bagimu, sehingga tidak menyebabkan
lalai menjalankan suatu kewajiban dalam agamamu, juga menyebabkan engkau tidak
tamak [rakus] terhadap milik orang lain.
Dan
tanda bahwa Allah mendudukkan dirimu dalam golongan hamba yang tidak berusaha
[Tajrid]. Apabila Tuhan memudahkan bagimu kebutuhan hidup dari jalan yang tidak
tersangka, kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap
ingat dan bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan
kewajiban-kewajiban.
Syeikh
Ibnu ‘Atoillah berkata : “Aku datang kepada guruku Syeikh Abu Abbas al- mursy.
Aku merasa, bahwa untuk sampai kepada Allah dan masuk dalam barisan
para wali dengan sibuk pada ilmu lahiriah dan bergaul dengan sesama manusia
(kasab) agak jauh dan tidak mungkin. tiba-tiba sebelum aku sempat bertanya,
guru bercerita: Ada seorang ahli dibidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat
merasakan sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata: Aku
akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu. Aku menjawab: Bukan
itu yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang
akan diberikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu.
KUPASAN 3
N2. Ahli Asbab dan
Ahli Tajrid
ِKEINGINAN KAMU UNTUK BERTAJRID PADAHAL
ALLAH MASIH
MELETAKKAN KAMU DALAM SUASANA ASBAB
ADALAH
SYAHWAT YANG SAMAR, SEBALIKNYA
KEINGINAN KAMU UNTUK
BERASBAB PADAHAL ALLAH TELAH MELETAKKAN
KAMU DALAM
SUASANA TAJRID BERARTI TURUN DARI
SEMANGAT DAN
TINGKAT YANG TINGGI.
Hikmat 1 menerangkan tanda orang yang
bersandar kepada amal.
Bergantung kepada amal adalah sifat
manusia biasa yang hidup
dalam dunia ini. Dunia ini dinamakan
alam asbab. Apabila
perjalanan hidup keduniaan dipandang
melalui mata ilmu atau mata
akal akan dapat disaksikan kerapian
susunan sistem sebab musabab
yang mempengaruhi segala kejadian. Tiap
sesuatu berlaku menurut
sebab yang menyebabkan ia berlaku.
Hubungan sebab dengan
akibat sangat erat. Mata akal melihat
dengan jelas keberkahan sebab
dalam menentukan akibat.
Kerapian sistem sebab musabab
ini membolehkan manusia mengambil
manfaat daripada anasir
dan kejadian alam. Manusia dapat menentukan
anasir yang boleh memudaratkan
kesehatan lalu menjauhkannya dan
manusia juga boleh menentukan
anasir yang boleh menjadi obat lalu
menggunakannya. Manusia boleh membuat
ramalan cuaca, pasang
surut air laut, angin, ombak, letupan
gunung berapi dan lain-lain
karena sistem yang mengawal perjalanan
anasir alam berada dalam
suasana yang sangat rapi dan sempurna,
membentuk hubungan
sebab dan akibat yang padu.
Allah s.w.t mengadakan sistem sebab
musabab yang rapi adalah
untuk kemudahan manusia menyusun
kehidupan mereka di dunia
ini. Kekuatan akal dan pancaindera
manusia mampu menkehendak
kehidupan yang dikaitkan dengan
perjalanan sebab musabab. Hasil
daripada penelitian dan kajian akal
itulah lahir berbagai-bagai jenis
ilmu tentang alam dan kehidupan,
separti ilmu sains, astronomi,
kedoktoran, teknologi maklumat dan sebagainya.
Semua jenis ilmu
itu dibentuk berdasarkan perjalanan
hukum sebab-akibat.
Kerapian sistem sebab musabab
menyebabkan manusia terikat kuat
dengan hukum sebab-akibat. Manusia
bergantung kepada amal
(sebab) dalam mendapatkan hasil
(akibat). Manusia yang melihat
kepada keberkahan sebab dalam
menentukan akibat serta bersandar
dengannya dinamakan ahli asbab.
Sistem sebab musabab atau perjalanan
hukum sebab-akibat sering
membuat manusia lupa kepada kekuasaan
Allah s.w.t. Mereka
melakukan sesuatu dengan penuh
keyakinan bahwa akibat akan
lahir daripada sebab, seolah-olah Allah
s.w.t tidak ikut campur
dalam urusan mereka. Allah s.w.t tidak
suka hamba-Nya
„mempertuhankan‟ sesuatu kekuatan
sehingga mereka lupa kepada
kekuasaan-Nya. Allah s.w.t tidak suka
jika hamba-Nya sampai
kepada tahap mempersekutukan diri- Nya
dan kekuasaan-Nya
dengan anasir alam dan hukum
sebab-akibat ciptaan-Nya.
Dia yang meletakkan keberkahan
kepada anasir alam berkuasa membuat
anasir alam itu lemah semulai. Dia yang
meletakkan kerapian pada
hukum sebab-akibat berkuasa merombak
hukum tersebut. Dia
mengutuskan rasul-rasul dan nabi-nabi
membawa mukjizat yang
merombak hukum sebab-akibat bagi
mengembalikan pandangan
manusia kepada-Nya, agar paham sebab
musabab tidak menghijab
ketuhanan-Nya.
Kelahiran Nabi Isa a.s, terbelahnya
laut dipukul oleh tongkat Nabi
Musa a.s, kehilangan kuasa membakar
yang ada pada api tatkala
Nabi Ibrahim a.s masuk ke dalamnya,
keluarnya air yang jernih dari
jari-jari Nabi Muhammad s.a.w dan
banyak lagi yang didatangkan
oleh Allah s.w.t, merombak hukum
sebab-akibat bagi menyadarkan
manusia tentang hakikat bahwa kekuasaan
Allah s.w.t yang
meliputi perjalanan alam maya dan hukum
sebab-akibat. Alam dan
hukum yang ada padanya seharusnya
membuat manusia mengenal
Tuhan, bukan menutup pandangan kepada
Tuhan. Sebagian
daripada manusia diselamatkan Allah
s.w.t daripada paham sebab
musabab.
Sebagai manusia yang hidup dalam dunia
mereka masih bergerak
dalam arus sebab musabab tetapi mereka
tidak meletakkan hukum
kepada sebab. Mereka senantiasa melihat
kekuasaan Allah s.w.t
yang menetapkan atau mencabut
keberkahan pada sesuatu hukum
sebab-akibat. Jika sesuatu sebab
berjaya mengeluarkan akibat
menurut yang biasa terjadi, mereka melihatnya
sebagai kekuasaan
Allah s.w.t yang menetapkan kekuatan
kepada sebab tersebut dan
Allah s.w.t juga yang mengeluarkan
akibatnya. Allah s.w.t
berfirman:
Segala yang ada di langit dan di bumi
tetap mengucap tasbih
kepada Allah; dan Dialah Yang Maha
Kuasa, lagi Maha Bijaksana.
Dialah sahaja yang menguasai dan
memiliki langit dan bumi; Ia
menghidupkan dan mematikan; dan Ia Maha
Kuasa atas tiap-tiap
sesuatu. |
( Ayat 1 & 2 : Surah al-Hadiid )
Maka Kami (Allah) berfirman: “Pukullah
si mati dengan
sebahagian anggota lembu yang kamu
sembelih itu”. (Mereka pun
memukulnya dan ia kembali hidup).
Demikianlah Allah
menghidupkan orang-orang yang telah
mati, dan memperlihatkan
kepada kamu tanda-tanda kekuasaan-Nya,
supaya kamu
memahaminya. |
( Ayat 73 : Surah alBaqarah )
Orang yang melihat kepada kekuasaan
Allah s.w.t menerajui hukum
sebabakibat tidak meletakkan
keberkesanan kepada hukum tersebut.
Pergantungannya kepada Allah s.w.t,
tidak kepada amal yang
menjadi sebab. Orang yang seperti ini
dipanggil ahli tajrid. Ahli
tajrid, seperti juga ahli asbab,
melakukan sesuatu menurut peraturan
sebabakibat. Ahli tajrid juga makan dan
minum Ahli tajrid
memanaskan badan dan memasak dengan
menggunakan api juga.
Ahli tajrid juga melakukan sesuatu
pekerjaan yang berhubung
dengan rezekinya.
Tidak ada perbezaan di antara amal ahli
tajrid dengan amal ahli
asbab. Perbezaannya terletak di dalam
diri iaitu hati. Ahli asbab
melihat kepada kekuatan hukum alam.
Ahli tajrid melihat kepada
kekuasaan Allah s.w.t pada hukum alam
itu. Walaupun ahli asbab
mengakui kekuasaan Allah s.w.t tetapi
penghayatan dan
kekuatannya pada hati tidak sekuat ahli
tajrid. Dalam melakukan
kebaikan ahli asbab perlu melakukan
mujahadah. Mereka perlu
memaksa diri mereka berbuat baik dan
perlu menjaga kebaikan itu
agar tidak menjadi rosak.
Ahli asbab perlu memperingatkan
dirinya supaya berbuat ikhlas dan
perlu melindungi keikhlasannya
agar tidak dirosakkan oleh riak
(berbuat baik untuk diperlihatkan
kepada orang lain agar dia
dikatakan orang baik), takbur (sombong
dan membesar diri, merasakan
diri sendiri lebih baik, lebih tinggi,
lebih kuat dan lebih cerdik daripada
orang lain) dan sama’ah
(membawa perhatian orang lain kepada
kebaikan yang telah dibuatnya
dengan cara bercerita mengenainya,
agar orang memperakui bahawa
dia adalah orang baik). Jadi, ahli
asbab perlu memelihara
kebaikan sebelum melakukannya dan juga
selepas melakukannya.
Suasana hati ahli tajrid berbeza
daripada apa yang dialami oleh
ahli asbab. Jika ahli asbab
memperingatkan dirinya supaya ikhlas,
ahli tajrid tidak melihat kepada
ikhlas kerana mereka tidak bersandar
kepada amal kebaikan yang mereka
lakukan. Apa juga kebaikan yang
keluar daripada mereka diserahkan
kepada Allah s.w.t yang
mengurniakan kebaikan tersebut. Ahli
tajrid tidak perlu menentukan
perbuatannya ikhlas atau tidak ikhlas.
Melihat keihklasan pada
perbuatan sama dengan melihat diri
sendiri yang ikhlas. Apabila
seseorang merasakan dirinya sudah
ikhlas, padanya masih
tersembunyi keegoan diri yang membawa
kepada riak, ujub
(merasakan diri sendiri sudah baik) dan
sama’ah.
Apabila tangan kanan berbuat
ikhlas dalam keadaan tangan kiri
tidak menyedari perbuatan itu
baharulah tangan kanan itu
benar-benar ikhlas. Orang yang
ikhlas berbuat kebaikan dengan
melupakan kebaikan itu. Ikhlas
sama seperti harta benda.
Jika seorang miskin diberi
harta oleh jutawan, orang miskin itu malu
mendabik dada kepada jutawan itu
dengan mengatakan yang dia sudah kaya.
Orang tajrid yang diberi ikhlas oleh
Allah s.w.t mengembalikan
kebaikan mereka kepada Allah s.w.t.
Jika harta orang miskin itu
hak si jutawan tadi, ikhlas orang
tajrid adalah hak Allah s.w.t. Jadi,
orang asbab bergembira kerana melakukan
perbuatan dengan
ikhlas, orang tajrid pula melihat Allah
s.w.t yang mentadbir
sekalian urusan.
Ahli asbab dibawa kepada syukur, ahli
tajrid berada dalam
penyerahan. Kebaikan yang dilakukan
oleh ahli asbab merupakan
teguran agar mereka ingat kepada Allah
s.w.t yang memimpin
mereka kepada kebaikan. Kebaikan yang
dilakukan oleh ahli tajrid
merupakan kurniaan Allah s.w.t kepada
kumpulan manusia yang
tidak memandang kepada diri mereka
dan kepentingannya.
Ahli asbab melihat kepada keberkesanan
hukum sebab-akibat.
Ahli tajrid pula melihat kepada
keberkesanan kekuasaan dan
ketentuan Allah s.w.t. Dari
kalangan ahli tajrid, Allah s.w.t memilih
sebahagiannya dan meletakkan
kekuatan hukum pada mereka.
Kumpulan ini bukan sekadar tidak melihat
kepada keberkesanan
hukum sebab-akibat, malah mereka
berkekuatan menguasai hukum
sebab-akibat itu. Mereka adalah
nabi-nabi dan wali-wali pilihan.
Nabi-nabi dianugerahkan mukjizat
dan wali-wali dianugerahkan
kekeramatan.
Mukjizat dan kekeramatan merombak
keberkesanan hukum sebab-
akibat. Di dalam kumpulan
wali-wali pilihan yang dikurniakan kekuatan
mengawal hukum sebab-akibat itu
terdapatlah orang-orang seperti
Syeikh Abdul Kadir alJailani, Abu Hasan
as-Sazili, Rabiatul
Adawiah, Ibrahim Adham dan lain-lain.
Cerita tentang kekeramatan
mereka sering diperdengarkan. Orang
yang cenderung kepada
tarekat tasauf gemar menjadikan
kehidupan aulia Allah s.w.t
tersebut sebagai contoh, dan yang mudah
memikat perhatian adalah
bahagian kekeramatan.
Kekeramatan biasanya dikaitkan dengan
perilaku kehidupan yang
zuhud dan bertawakal sepenuhnya kepada
Allah s.w.t. Timbul
anggapan bahawa jika mahu memperolehi
kekeramatan seperti
mereka mestilah hidup sebagaimana
mereka.
Orang yang berada pada peringkat
permulaan bertarekat cenderung
untuk memilih jalan bertajrid iaitu
membuang segala ikhtiar dan
bertawakal sepenuhnya kepada Allah
s.w.t. Sikap melulu bertajrid
membuat seseorang meninggalkan
pekerjaan, isteri, anak-anak,
masyarakat dan dunia seluruhnya. Semua
harta disedekahkan
kerana dia melihat Saidina Abu Bakar
as-Siddik telah berbuat
demikian.
Ibrahim bin Adham telah meninggalkan
takhta kerajaan, isteri,
anak, rakyat dan negerinya lalu tinggal
di dalam gua. Biasanya
orang yang bertindak demikian tidak
dapat bertahan lama.
Kesudahannya dia mungkin meninggalkan
kumpulan tarekatnya
dan kembali kepada kehidupan duniawi.
Ada juga yang kembali
kepada kehidupan yang lebih buruk
daripada keadaannya sebelum
bertarekat dahulu kerana dia mahu
menebus kembali apa yang telah
ditinggalkannya dahulu untuk
bertarekat. Keadaan yang demikian
berlaku akibat bertajrid secara
melulu.
Orang yang baharu masuk ke dalam bidang
latihan kerohanian
sudah mahu beramal seperti aulia Allah
s.w.t yang sudah berpuluh-
puluh tahun melatihkan diri. Tindakan
mencampak semua yang
dimilikinya secara tergesa-gesa
membuatnya berhadapan dengan
cabaran dan dugaan yang boleh
menggoncangkan imannya dan
mungkin juga membuatnya berputus-asa.
Apa yang harus dilakukan
bukanlah meniru kehidupan aulia Allah
s.w.t yang telah mencapai
makam yang tinggi secara melulu.
Seseorang haruslah melihat kepada
dirinya dan mengenalpasti
kedudukannya, kemampuanya dan
daya-tahannya. Ketika masih
di dalam makam asbab
seseorang haruslah bertindak sesuai dengan
hukum sebab-akibat. Dia
harus bekerja untuk mendapatkan rezekinya
dan harus pula berusaha menjauhkan
dirinya daripada bahaya atau
kemusnahan. Ahli asbab perlu
berbuat demikian kerana dia masih
lagi terikat dengan sifatsifat
kemanusiaan. Dia masih lagi melihat
bahawa tindakan makhluk memberi
kesan kepada dirinya.
Oleh yang demikian adalah wajar
sekiranya dia mengadakan juga
tindakan yang menurut pandangannya akan
mendatangkan
kesejahteraan kepada dirinya dan orang
lain.
Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang
pada kedudukan sebagai
ahli asbab ialah apabila urusannya dan
tindakannya yang menurut
kesesuaian hukum sebab-akibat tidak
menyebabkannya
mengabaikan kewajipan terhadap tuntutan
agama. Dia tetap berasa
rengan untuk berbakti kepada Allah
s.w.t, tidak gelojoh dengan
nikmat duniawi dan tidak berasa iri
hati terhadap orang lain.
Apabila ahli asbab berjalan menurut
hukum asbab maka jiwanya
akan maju dan berkembang dengan baik
tanpa menghadapi
kegoncangan yang besar yang boleh
menyebabkan dia berputus asa
dari rahmat Allah s.w.t. Rohaninya akan
menjadi kuat sedikit demi
sedikit dan menolaknya ke dalam makam
tajrid secara selamat.
Akhirnya dia mampu untuk bertajrid
sepenuhnya. Ada pula orang
yang dipaksa oleh takdir supaya
bertajrid.
Orang ini asalnya adalah ahli
asbab yang berjalan menurut hukum
sebab-akibat sebagaimana orang
ramai. Kemungkinannya kehidupan
seperti itu tidak menambahkan
kematangan rohaninya. Perubahan
jalan perlu baginya supaya dia
boleh maju dalam bidang kerohanian.
Oleh itu takdir bertindak
memaksanya untuk terjun ke dalam lautan tajrid.
Dia akan mengalami keadaan di mana
hukum sebabakibat tidak lagi
membantunya untuk menyelesaikan
masalahnya.
Sekiranya dia seorang raja, takdir
mencabut kerajaannya. Sekiranya
dia seorang hartawan, takdir
menghapuskan hartanya. Sekiranya dia
seorang yang cantik, takdir
menghilangkan kecantikannya itu.
Takdir memisahkannya daripada apa yang
dimiliki dan dikasihinya.
Pada peringkat permulaan menerima
kedatangan takdir yang
demikian, sebagai ahli asbab, dia
berikhtiar menurut hukum
sebabakibat untuk mempertahankan apa
yang dimiliki dan
dikasihinya.
Jika dia tidak terdaya untuk menolong
dirinya dia akan meminta
pertolongan orang lain. Setelah puas
dia berikhtiar termasuklah
bantuan orang lain namun, tangan takdir
tetap juga merombak sistem
sebab-akibat yang terjadi ke atas
dirinya. Apabila dia sendiri dengan
dibantu oleh orang lain tidak mampu mengatasi arus
takdir maka dia
tidak ada pilihan kecuali berserah
kepada takdir.
Dalam keadaan begitu dia akan lari
kepada Allah s.w.t dan
merayu agar Allah s.w.t menolongnya.
Pada peringkat ini seseorang
itu akan kuat beribadat dan menumpukan
sepenuh hatinya kepada
Tuhan. Dia benar-benar berharap Tuhan
akan menolongnya
mengembalikan apa yang pernah
dimilikinya dan dikasihinya.
Tetapi, pertolongan tidak juga sampai
kepadanya sehinggalah dia
benar-benar terpisah dari apa yang
dimiliki dan dikasihinya itu.
Luputlah harapannya untuk
memperolehinya kembali. Redalah dia
dengan perpisahan itu. Dia tidak lagi
merayu kepada Tuhan
sebaliknya dia menyerahkan segala
urusannya kepada Tuhan. Dia
menyerah bulat-bulat kepada Allah
s.w.t, tidak ada lagi ikhtiar,
pilihan dan kehendak diri sendiri.
Jadilah dia seorang hamba Allah
s.w.t yang bertajrid. Apabila seseorang
hamba benar-benar bertajrid
maka Allah s.w.t sendiri akan
menguruskan kehidupannya. Allah
s.w.t menggambarkan suasana tajrid
dengan firman-Nya:
Dan (ingatlah) berapa banyak binatang
yang tidak membawa
rezekinya bersama, Allah jualah yang
memberi rezeki kepadanya
dan kepada kamu; dan Dialah jua Yang
Maha Mendengar, lagi
Maha Mengetahui.|
( Ayat 60 : Surah al-‘Ankabut )
Makhluk Allah s.w.t seperti burung,
ikan, kuman dan sebagainya
tidak memiliki tempat simpanan makanan.
Mereka adalah ahli tajrid
yang dijamin rezeki mereka oleh Allah
s.w.t. Jaminan Allah s.w.t
itu meliputi juga bangsa manusia. Tanda
Allah s.w.t meletakkan
seseorang hamba-Nya di dalam makam
tajrid ialah Allah s.w.t
memudahkan baginya rezeki yang datang
dari arah yang tidak
diduganya. Jiwanya tetap tenteram
sekalipun terjadi kekurangan
pada rezeki atau ketika menerima bala
ujian.
Sekiranya ahli tajrid sengaja
memindahkan dirinya kepada makam
asbab maka ini bermakna dia melepaskan
jaminan Allah s.w.t lalu
bersandar kepada makhluk . Ini
menunjukkan akan kejahilannya
tentang rahmat dan kekuasaan Allah
s.w.t. Tindakan yang jahil itu
boleh menyebabkan berkurangan atau
hilang terus keberkatan yang
Allah s.w.t kurniakan kepadanya.
Misalnya, seorang ahli tajrid yang
tidak mempunyai sebarang pekerjaan
kecuali membimbing orang
ramai kepada jalan Allah s.w.t,
walaupun tidak mempunyai
sebarang pekerjaan namun, rezeki datang
kepadanya dari berbagai-
bagai arah dan tidak pernah putus tanpa
dia meminta-minta atau
mengharap-harap.
Pengajaran yang disampaikan kepada
murid-muridnya sangat
berkesan sekali. Keberkatannya amat
ketara seperti makbul doa dan
ucapannya biasanya menjadi kenyataan.
Andainya dia
meninggalkan suasana bertajrid lalu
berasbab kerana tidak puas hati
dengan rezeki yang diterimanya maka
keberkatannya akan terjejas.
Pengajarannya, doanya dan ucapannya
tidak seberkesan dahulu
lagi. Ilham yang datang kepadanya
tersekat-sekat dan kefasihan
lidahnya tidak selancar biasa.
Seseorang hamba haruslah menerima dan
reda dengan kedudukan
yang Allah s.w.t kurniakan kepadanya.
Berserahlah kepada Allah
s.w.t dengan yakin bahawa Allah Maha
Mengetahui dan Maha
Bijaksana. Allah s.w.t tahu apa yang
patut bagi setiap makhluk-
Nya. Allah s.w.t sangat bijak mengatur
urusan hamba-hamba-Nya.
Keinginan kepada pertukaran makam
merupakan tipu daya yang
sangat halus. Di dalamnya tersembunyi rangsangan
nafsu yang
sukar disedari.
Nafsu di sini merangkumi kehendak,
cita-cita dan angan-angan.
Orang yang baharu terbuka pintu hatinya
setelah lama hidup di dalam
kelalaian, akan mudah tergerak untuk
meninggalkan suasana asbab
dan masuk ke dalam suasana tajrid.
Orang yang telah lama berada
dalam suasana tajrid, apabila kesedaran
dirinya kembali sepenuhnya,
ikut kembali kepadanya adalah
keinginan, cita-cita dan anganangan.
Nafsu mencuba untuk bangkit
semula menguasai dirinya.
Orang asbab perlulah menyedari bahawa
keinginannya untuk
berpindah kepada makam tajrid itu
mungkin secara halus
digerakkan oleh ego diri yang tertanam
jauh dalam jiwanya.
Orang tajrid pula perlu sedar
keinginannya untuk kembali kepada
asbab itu mungkin didorong oleh nafsu
rendah yang masih belum
berpisah dari hatinya.
Ulama tasauf mengatakan seseorang
mungkin dapat mencapai
semua makam nafsu, tetapi nafsu
peringkat pertama tidak kunjung
padam. Oleh yang demikian perjuangan
atau mujahadah mengawasi
nafsu sentiasa berjalan.