Thursday, May 6, 2021

Siri 1 - Pengenalan Kitab Al-Hikam dan Perkara No. 1 - Bersandar Pada Amal

                                                                                            Isi Kandungan

Kembali


Siri 1 - Pengenalan Kitab Al-Hikam 



















KUPASAN 1


 Al-hikam 1 "Bersandar pada Amal"

"BERSANDARLAH PADA ALLOH JANGAN PADA AMAL”


مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ

"Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-raja’ (rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana."

Syarah

Ar-raja adalah istilah khusus dalam terminologi agama, yang bermakna pengharapan kepada Allah Ta'ala. Pasal Al-Hikam yang pertama ini bukan ditujukan ketika seseorang berbuat salah, gagal atau melakukan dosa. Karena ar-rajalebih menyifati orang-orang yang mengharapkan kedekatan dengan Allah, untuk taqarrub.

Kalimat "wujuudi zalal", artinya segala wujud yang akan hancur, alam fana. Menunjukkan seseorang yang hidup di dunia dan masih terikat oleh alam hawa nafsu dan alam syahwat. Itu semua adalah wujud al-zalal, wujud yang akan musnah. Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata kepada Allah Ta'ala. 

Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata kepada Allah Ta'ala

Jika kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan harapan kepada amal-amal kita, baik itu besar atau pun kecil. Dan hal yang paling mahal dalam suluk adalah hati, yaitu apa yang dicarinya dalam hidup. Dunia ini akan menguji sejauh mana kualitas raja (harap) kita kepada Allah Ta’ala. 

Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya.” Ditanyakan, “Sekalipun engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sekalipun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku.” – H.R. Bukhari dan Muslim 

Orang yang melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Alloh, meminta kepada Alloh supaya hasil pengharapannya, akan tetapi jangan sampai orang beramal itu bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan amal ibadah itu Alloh,. sehingga apabila terjadi kesalahan, seperti, terlanjur melakukan maksiat, atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia merasa putus asa dan berkurang pengharapannya kepada Alloh.  sehingga apabila berkurang pengharapan kepada rohmat Alloh, maka amalnyapuan akan berkurang dan akhirnya berhenti beramal.

seharusnya dalam beramal itu semua dikehendaki dan dijalankan oleh Alloh. sedangkan dirikita hanya sebagai media berlakunya Qudrat Alloh. 

Kalimat: Laa ilaha illalloh. Tidak ada Tuhan, berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung, berharap kecuali Alloh, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Alloh. 

Pada dasarnya syari’at menyuruh kita berusaha dan beramal. Sedang hakikat syari’at melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar pada karunia dan rahmat Alloh subhanahu wata’ala. 

Apabila kita dilarang menyekutukan Alloh dengan berhala, batu, kayu, pohon, kuburan, binatang dan manusia, maka janganlah menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri, seakan-akan merasa sudah cukup kuat dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, taufik, hidayat dan karunia Allah subhanahu wata’ala.

Rujuk :




KUPASAN 2

 

 

SYARAH HIKMAH KE-1

 

مِنْ عَلَامَاتِ الْاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ

Di antara tanda-tanda bahwa seseorang bertumpu pada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya pengharapan (terhadap rahmat anugerah Allah) ketika terjadi padanya suatu kesalahan atau dosa.”

Ketahuilah wahai Sālik (11), bahwasanya wajib bagi orang mu’min yang shādiq (22) untuk berpegang teguh pada Allah s.w.t. semata. Yakni, jangan sekali-kali kamu bersandar diri pada selain Allah. Ilmu dan amal ibadahmu itu tidak bisa dijadikan pengharapan. Jangan pernah sekali-kali membuat keyakinan di dalam hatimu bahwa amal ibadahmu bisa memasukkanmu ke dalam surga, menyelamatkan dari api neraka, serta menjadikan wushūl (sampai) kepada Allah. Hal itu tidak bisa benar-benar tidak bisa.

Apakah kamu tidak mengetahui kisah Pendeta Bal‘am bin Ba‘ura dan Qārūn yang keduanya adalah ahli ibadah? Qārūn merupakan ulama Bani Isrā’īl, tetapi saat menghadapi ajal keduanya mati dalam keadaan kafir. Apakah kamu tidak mengetahui kisah Sayyidah ‘Ā’isyah binti Muzāhim, walaupun beliau menjadi istri Fir‘aun, beliau adalah kekasih Allah s.w.t. bahkan beliau akan menjadi istri Rasūlullāh s.a.w. besok di surga.

Akhirnya, baik iman ataupun kufur, masuk surga atau masuk neraka, itu semua adalah berkat fadhal (karunia) dan keadilan dari Allah s.w.t. semata. Sama sekali bukan dikarenakan ketaatan dan kemaksiatan setiap insan. Yang benar adalah, ketaatan dan kemaksiatan itu menjadi sebab dan menjadi tanda bagi orang yang akan masuk surga atau masuk neraka, tetapi kesemuanya tidak dapat memberi akibat atau dampak.

Wahai murīd (33), ambillah ibarat dari kisah putra Nabi Nūḥ a.s. dan kisah istri Nabi Lūth a.s. yang keduanya mati dalam keadaan kafir. Tegasnya, orang tua tidak bisa menjamin anaknya, suami tidak bisa menolong istrinya dari siksa Allah s.w.t. walaupun keduanya adalah seorang nabi. Bahkan, wajib baginya berpegang teguh kepada Allah s.w.t., bukan kepada yang lain.

Saat kamu, hai orang yang berakal, sudah mengetahuinya, maka bersandarlah kamu pada Allah s.w.t. semata dalam segala keadaan, bahkan dalam urusan rezeki sekali pun. Jangan sekali-kali hatimu merasa ada sesuatu selain Dia yang dapat memberi manfaat atau memberi bahaya kepadamu, dan tentu ini tidak akan terjadi.

Dari sini, Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh menyebutkan tanda-tanda orang yang menyandarkan diri kepada selain Allah s.w.t. melalui perkataan beliau berikut ini:

مِنْ عَلَامَاتِ الْاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ

Di antara tanda-tanda bahwa seseorang bertumpu pada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya pengharapan (terhadap rahmat anugerah Allah) ketika terjadi padanya suatu kesalahan atau dosa.

Di antara tanda-tanda bahwa seseorang itu bersandar diri pada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya pengharapan terhadap rahmat anugerah Allah ketika terjadi padanya suatu kesalahan atau dosa.

Misalnya, maksiat atau lupa dari mengingat Allah s.w.t., yaitu ketika hati seseorang berkata setelah melakukan kesalahan: “Aku pasti akan masuk neraka sebab dosaku ini, dan Allah tidak akan mengampuni dosaku ini”. Akan tetapi, seharusnya orang yang jatuh dalam sebuah dosa harus mendekatkan dirinya kepada Allah s.w.t. dan merasa bahwa ia melakukan dosa itu karena sifat Qahhār (Maha Pemaksa) Allah s.w.t. Takutlah kamu jika Allah s.w.t. menempatkanmu dalam melakukan maksiat dan selalu berharaplah pada sifat Maha Pengampun Allah s.w.t. berikut anugerah-Nya.

Demikian halnya, wajib bagi orang yang memiliki sifat (44), jangan sekali-kali kamu merasa bahwa kamu ahli berbuat ketaatan dan jangan sekali-kali kamu merasa ketaatanmu bisa mendekatkan pada Allah s.w.t. atau bisa memasukkanmu ke dalam surga. Akan tetapi, merasalah bahwa ketaatan yang kamu perbuat itu lantaran anugerah Allah s.w.t. kepadamu dan kamu sudah dikeluarkan dari perbuatan maksiat dan kembali kepada Allah s.w.t. Jika tidak ada anugerah Allah, niscaya kamu tidak akan mau berbuat ketaatan, dan sesungguhnya anugerah Allah yang diberikan pada kamu itu karena fadhal Allah semata, bukan karena amal yang menyertaimu.

Jika sudah begitu, maka tidak patut bagimu untuk memohon pahala kepada Allah atas amal perbuatan yang kamu lakukan, karena kamu bukanlah orang yang ahli dalam amal-ibadah. Akan tetapi, Allah-lah yang memberi amal pada kamu dan hendaklah kamu bersyukur atas pemberian yang dianugerahkan oleh Allah kepadamu. Banyak dari kamu yang dikasihi Allah ialah diberi ketaatan dan iman, dan tanda murkanya Allah adalah diberikannya maksiat dan kufur.

Catatan:


  1. 1). Perambah jalan kebenaran spiritual dengan berbagai riyādhah
  2. 2). Istilah shādiq diberikan kepada orang yang ahli dalam melakukan kebenaran dan selalu dikaitkan dengan kebenaran. Di atasnya terdapat shiddīq, yaitu kebenaran yang lebih banyak lagi daripada yang dilakukan shādiq. Maksudnya, baik shādiq maupun shiddīq sama-sama didominasi oleh kebenaran, bedanya dominasi kebenaran yang menguasai shiddīq lebih banyak. Tak ubahnya seperti pemabuk yang kecanduan khamar, seperti itulah orang yang shiddīq, ia kecanduan akan kebenaran. Tingkat terendah dari shiddīq adalah kesamaan antara yang rahasia dan yang tampak. Shādiq diberikan kepada orang yang benar dalam ucapannya, sementara shiddiq diberikan kepada orang yang benar dalam segala ucapan, perbuatan dan keadaannya. Lihat Abul-Qāsim ‘Abdul-Karīm Ḥawāzin al-Qusyairī an-Naisābūrī, ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, al-Maktabah al-‘Ashriyyah, cet. ke-1, Libanon, 2001, hal. 210. 
  3. 3). Orang yang menghendaki sampai kepada Allah s.w.t. 
  4. 4). Barang kali yang dimaksud adalah ḥāl dalam istilah kaum sufi. 

 

Rujuk :






KUPASAN 3

 

Pengenalan

 

KITAB AL HIKAM

Imam Tajuddin Abu Fadhli Ahmad bin Muhammad bin 

Abdul Karim bin Athaillah Askandary

 

ِDengan nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih. 

Selawat dan salam kepada junjungan besar Nabi Muhammad s.a.w, 

keluarga baginda dan seluruh penolong-penolong agama-Nya.

Sebagian besar generasi terdahulu mendengar kehebatan kitab al-

Hikam, mereka mendalaminya, meneliti dan mengutip mutiara yang 

ada di dalamnya.

 

Perjalanan masa telah merubah manusia, kepergian generasi yang

alim dalam bidang tasawuf amat dirasai, sehingga kitab al-Hikam

tidak lagi menjadi teks penting dalam pengajian seharian, sampai

dalam sistem pendidikan formal maupun yang tidak formal; kecuali sedikit.

Sebagiannya memberi alasan istilah dan penggunaan bahasa yang

digunakan sukar untuk difahami dengan sebaiknya. Pandangan ini

ditambah dengan sikap untuk menjauhi bidang tariqat dan tasawuf,

menyebabkan kitab yang bernilai ini diabaikan oleh generasi kini.

 

Oleh itu, terdapat beberapa usaha untuk mentafsirkan kitab al-

Hikam yang dilakukan oleh sebagian ulama, dan ternyata khazanah 

al-Hikam ibarat air lautan, yang tidak akan kering bahkan lagi jauh 

penggalian dilakukan, maka Banyak lagi khazanah yang dapat 

dikeluarkan. Umpama lautan, di permukaan manusia belayar, di 

dalamnya ribuan jenis makhluk hidup, ikan, udang, ketam dan 

lainnya, manakala di dasarnya menyimpan jutaan khazanah yang 

bernilai.

 

Buku Syarah al-Hikam ini merupakan secuil usaha berterusan untuk 

menggali mutiara yang masih tersembunyi di dalam kitab yang 

berharga ini. Usaha ini diharapkan dapat menjelaskan kepada 

umum beberapa persoalan hidup dan kehidupan yang dilalui oleh 

manusia, karena putaran kehidupan manusia yang berkisar kepada 

keperluan zahir dan batin, tidak akan terlepas dari merasai betapa 

agungnya penciptaan manusia. Akibat fitnah dunia yang dilalui oleh 

manusia, maka segala khazanah yang berharga telah hilang 

penilaiannya yang sebenar, menyebabkan manusia bertungkus 

lumus mencari sesuatu yang akan ditinggalkan; manakala yang 

akan dibawa diabaikan. 

 

Kitab ini juga diharapkan dapat memberi rangsangan kepada kita 

semua untuk mendekati kembali jalan-jalan kebenaran yang sebenar 

melalui usaha mendekatkan diri terhadap Allah s.w.t. Usaha ini 

tentulah lebih mudah karena penulis menjelaskan penunjuk-

penunjuk bagi melaluinya. Dengan gaya bahasa yang mudah dan 

ulasan yang baik, maka diharapkan buku Syarah al-Hikam ini 

menjadi panduan bagi umat Islam umumnya dan pencinta 

kebenaran hakiki memahami jalan-jalan yang sebenar bagi 

mendekatkan diri kepada Allah s.w.t.

 

Semoga dengan petunjuk Ilahi yang memandu kita kepada jalan 

kebenaran saya mengharapkan buku Syarah al-Hikam ini dapat

membantu pembaca memahami khazanah yang amat bernilai yang 

ada di dalam al-Hikam. Di samping ianya menambah koleksi 

tafsiran dan syarah terhadap kitab ini yang dilakukan oleh para 

ulama-ulama yang lain. 

 

Saya mengakui penelitian saya yang singkat mungkin terdapat 

berbagai kelemahan, dan saya mengharapkan agar kita menjadi 

peneliti yang baik bagi memperindahkan lagi khazanah ilmu ini. 

Lantaran itu, sebarang pandangan baik dan nasehat yang berguna 

diharapkan dapat kita kutip sampai dari teks asalnya ataupun syarah 

yang dilakukan oleh penulis. Semoga kitab ini dapat dimanfaatkan 

oleh para pembaca sekalian dan sekaligus memantapkan aqidah dan 

ibadah kita selaras dengan tugas kita sebagai hamba Allah yang 

bertaqwa. 

 

Sekian, wassalamualaikum wrh wb. 


Akhukum fil Islam 

Dato‟ Hj. Tuan Ibrahim bin Tuan Man 

Pensyarah Kanan ITM Cawangan Pahang, 

Bandar Pusat Jengka, Pahang.

 

MUKADIMAH

 

Dengan Dengan Menyebut nama Allah, Yang Maha Pemurah, lagi 

Maha Penyayang. Segala puji-pujian bagi Allah, Pemelihara 

sekalian alam. Selawat disertai salam atas yang paling mulia di 

antara Rasul-rasul, Muhammad Rasul yang Amin, dan atas 

sekalian keluarga dan sahabat-sahabat baginda saw.

 

Saya rido Allah adalah Tuhan, Islam adalah Agama, Nabi 

Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul, al-Quran adalah Imam, 

Kaabah adalah Kiblat dan Mukmin adalah saudara.

 

Wahai tuhanku! Engkau jualah maksud dan tujuanku dan keridoan 

Engkau jua yang saya cari. Saya mengharapkan kasih sayang-Mu 

dan kehampiran-Mu.

 

Kitab al-Hikam karangan Imam Tajuddin Abu Fadhli Ahmad bin 

Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah Askandary boleh

dianggap sebagai buku teks yang perlu dipelajari oleh orang-orang 

yang mau mendalami ilmu tauhid / tasawuf serta berjalan pada jalan 

kerohanian. Dalamnya mengandungi kata-kata hikmat yang boleh 

dijadikan petunjuk jalan menuju Allah s.w.t.

 

Pada mulainya saya mengenali Kitab al-Hikam pada namanya saja. 

Apa yang diperkatakan adalah kitab ini merupakan sebuah kitab 

yang sukar difahami. Hanya sedikit saja bilangan guru-guru yang 

mampu mengajarkan kitab ini. Anggapan yang telah tertanam 

dalam fikiranku adalah hanya orang-orang yang khusus saja layak 

mempelajari kitab tersebut. Oleh yang demikian saya tidak pernah 

mencoba untuk mempelajarinya.

 

Kehendak Allah s.w.t mengatasi segala perkara. Apabila saya

dimasukkan ke dalam bidang kerohanian timbullah minat dan

kecenderungan untuk mengetahui isi Kitab al-Hikam.

Saya mulai mempelajari syarah-syarah kitab tersebut yang boleh

didapati di kedai-kedai buku. Sedikit sekali kefahaman yang terbuka

kepada saya. Kemudian saya mempelajari kitab-kitab tasawuf yang

boleh saya dapati dari berbagai-bagai sumber.

 

Berbekalkan sedikit pengetahuan dalam ilmu tasawuf, saya mempelajari

semulai Kitab al-Hikam. Apa yang saya fahamkan itu saya tuliskan

sebagai satu cara pembelajaran. Beberapa orang sahabat telah

membaca teks yang asal dan memberi teguran yang membina.

Hasil dari teguran itu saya tulis semulai Syarah al-Hikam ini.

 

Apa yang saya fahamkan dan perolehi dari khazanah al-Hikam ingin saya 

kongsikan dengan saudara-saudara Muslimku. Mudah-mudahan 

Allah s.w.t memberikan taufik dan hidayat kepada kita semua. 

Penyusun Syarah al-Hikam ini bukanlah seorang yang alim dalam 

ilmu tasawuf, apa lagi ilmu fikah. Oleh itu adalah baik jika saudara

saudara yang membaca kitab ini merujukkan kepada orang yang 

alim. Jika terdapat perbedaan pendapat di antara isi kitab ini dengan 

perkataan orang alim, anggaplah kefahaman penyusun telah tersilap 

dan berpeganglah kepada perkataan orang alim.

Penyusun memohon kemaafan di atas kesilapan tersebut. Sekiranya apa 

yang diperkatakan dalam kitab ini adalah benar, maka sesungguhnya

kebenaran itu dari Allah s.w.t. Hanya Dia yang patut menerima pujian.

Hanya kepada-Nya kita bersyukur. Wahai saudara-saudaraku yang

saya kasihi. Ilmu adalah nur. Hati juga nur. Dan, Nur adalah salah satu nama 

daripada Nama-nama Allah s.w.t. Nur Ilahi, hati dan ilmu berhubung rapat.

 

Hati yang suci bersih menjadi bekas yang sesuai untuk menerima pancaran

Nur Ilahi. Hati yang dipenuhi oleh Nur Ilahi mampu menerima Nur Ilmu

dari alam ghaib. Nur Ilmu yang dari alam ghaib itu membuka hakikat alam

dan hakikat Ketuhanan. 

 

Hati yang menerima pengalaman hakikat memancarkan nurnya 

kepada akal. Akal yang menerima pancaran Nur Hati akan dapat 

memahami perkara ghaib yang dinafikan oleh akal biasa. Bila hati 

dan akal sudah beriman hilanglah keresahan pada jiwa dan 

kekeliruan pada akal.

 

Lahirlah ketenangan yang sejati. Hiduplah nafsu muthmainnah

menggerakkan sekalian anggota zahir dan batin supaya berbakti

kepada Allah s.w.t. Jadilah insan itu seorang hamba yang sesuai

zahirnya dengan Syariat dan batinnya dengan kehendak dan irodat

Allah s.w.t. Bila Allah s.w.t memilihnya, maka jadilah dia seorang

insan Hamba Rabbani, Khalifah Allah yang diberi tugas khusus

dalam melaksanakan kehendak Allah s.w.t di bumi. 

 

Khalifah Allah muncul dalam berbagai-bagai bidang. Mana-mana 

bidang yang dipimpin oleh Muslim yang bertaraf Khalifah Allah

akan menjadi cemerlang dan kaum Muslimin akan mengatasi kaum-

kaum lain dalam bidang berkenaan.

 

Khalifah ekonomi akan membawa ekonomi umat Islam mengatasi

ekonomi semua kaum lain. Khalifah tentera akan membebaskan

umat Islam dari kaum penjajah dan penindas yang zalim.

Khalifah dakwah akan membukakan Islam yang sebenarnya dan

membersihkannya dari bidaah, kekarutan dan kesesatan.

 

Bila semua bidang kehidupan dipimpin oleh Khalifah Muslim

maka umat Islam akan menjadi umat yang teratas dalam segala bidang. 

Mulailah bekerja membentuk hati agar ia menjadi bercahaya 

dengan Nur Ilahi. Nur Ilahi adalah tentera bagi hati yang akan 

mengalahkan segala jenis senjata dan segala jenis sistem, walau 

bagaimana canggih sekali pun. Bila Nur Ilahi sudah memenuhi 

ruang hati umat Islam maka umat Islam akan menjadi satu golongan 

yang tidak akan dapat dikalahkan oleh siapa pun, dalam bidang apa 

sekalipun. Insya-Allah! 

 

Tidaklah Allah memberati suatu diri melainkan sekadar terpikul 

olehnya. Dia akan mendapat pahala dari apa yang dia usahakan 

dan akan mendapat siksa atas apa yang dia usahakan pula. Wahai 

Tuhan kami! Janganlah Engkau tuntut kami di atas kealpaan kami 

dan kekeliruan kami. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau 

pikulkan ke atas kami siksa, sebagaimana yang pernah Engkau 

pikulkan atas orang-orang yang sebelum kami.

Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau timpakan ke atas kami

perintah yang tidak bertenaga kami dengan dia, dan maafkanlah

(dosa-dosa) kami dan ampunilah kami dan kasihanilah kami;

Engkau jualah Penolong kami. Maka tolonglah kami atas

mengalahkan kaum yang tidak mau percaya. |

(Ayat 286 : Surah al-Baqarah )

 

Dan tulislah untuk kami satu kebaikan di dunia dan juga akhirat. 

Sesungguhnya kami telah bertaubat kepada Engkau. 

( Ayat 156 : Surah al-A‟raaf )

  

Wahai Tuhan kami! Berilah kami di dunia kebaikan dan di akhirat 

pun kebaikan. Dan peliharalah kami daripada seksaan neraka.

( Ayat 201 : Surah al-Baqarah )

 

Amin! Ya Rabbal „Aalamin. 

 

Wassalam. 

MOHAMAD NASIR BIN MAJID (TOK FAQIR AN-NASIRIN) 

Seberang Takir Terengganu Darul Iman

 

 

KITAB AL HIKAM


1. Perbuatan Zahir dan Suasana Hati

 

َSEBAGIAN DARIPADA TANDA BERSANDAR KEPADA AMAL 

(PERBUATAN ZAHIR) ADALAH BERKURANGAN HARAPANNYA 

(SUASANA HATI) TATKALA BERLAKU PADANYA KESALAHAN.

 

Imam Ibnu Athaillah memulaikan Kalam Hikmat beliau dengan 

mengajak kita merenung kepada hakikat amal. Amal boleh 

dibagikan kepada dua jenis yaitu perbuatan zahir dan perbuatan hati 

atau suasana hati berhubung dengan perbuatan zahir itu. Beberapa 

orang boleh melakukan perbuatan zahir yang serupa tetapi suasana 

hati berhubung dengan perbuatan zahir itu tidak serupa.

 

Kesan amalan zahir kepada hati berbeda antara seorang dengan seorang 

yang lain. Jika amalan zahir itu mempengaruhi suasana hati, maka 

hati itu dikatakan bersandar kepada amalan zahir. Jika hati 

dipengaruhi juga oleh amalan hati, maka hati itu dikatakan 

bersandar juga kepada amal, sekalipun ianya amalan batin. Hati 

yang bebas daripada bersandar kepada amal sama ada amal zahir 

atau amal batin adalah hati yang menghadap kepada Allah s.w.t dan 

meletakkan pergantungan kepada-Nya tanpa membawa sebarang 

amal, zahir atau batin, serta menyerah sepenuhnya kepada Allah 

s.w.t tanpa sebarang takwil atau tuntutan. 

 

Hati yang demikian tidak menjadikan amalnya, zahir dan batin, 

walau berapa banyak sekalipun, sebagai alat untuk tawar menawar 

dengan Tuhan bagi mendapatkan sesuatu. Amalan tidak menjadi 

perantaraan di antaranya dengan Tuhannya. Orang yang seperti ini

tidak membataskan kekuasaan dan kemurahan Tuhan untuk tunduk 

kepada perbuatan manusia.

 

Allah s.w.t Yang Maha Berdiri Dengan Sendiri berbuat sesuatu

menurut kehendak-Nya tanpa dipengaruhi oleh siapa dan sesuatu.

Apa saja yang mengenai Allah s.w.t adalah mutlak, tiada had,

sempadan dan perbatasan. Oleh karena itu orang arif tidak menjadikan

amalan sebagai sempadan yang mengongkong ketuhanan Allah s.w.t

atau „memaksa‟ Allah s.w.t berbuat sesuatu menurut perbuatan makhluk.

 

Perbuatan Allah s.w.t berada di hadapan dan perbuatan makhluk

di belakang. Tidak pernah terjadi Allah s.w.t mengikuti perkataan

dan perbuatan seseorang atau sesuatu.Sebelum menjadi seorang

yang arif, hati manusia memang berhubung rapat dengan amalan

dirinya, baik yang zahir mau pun yang batin.

 

Manusia yang kuat bersandar kepada amalan zahir adalah mereka

yang mencari faedah keduniaan dan mereka yang kuat bersandar

kepada amalan batin adalah yang mencari faedah akhirat.

Kedua-dua jenis manusia tersebut berkepercayaan bahwa amalannya

menentukan apa yang mereka akan perolehi baik di dunia dan juga

di akhirat.

 

Kepercayaan yang demikian kadang-kadang membuat manusia

hilang atau kurang pergantungan dengan Tuhan. Pergantungan

mereka hanyalah kepada amalan semata-mata ataupun jika mereka

bergantung kepada Allah s.w.t, pergantungan itu bercampur dengan

keraguan. 

 

Seseorang manusia boleh memeriksa diri sendiri apakah kuat atau 

lemah pergantungannya kepada Allah s.w.t. Kalam Hikmat 1 yang 

dikeluarkan oleh Ibnu Athaillah memberi petunjuk mengenainya. 

Lihatlah kepada hati apabila kita terperosok ke dalam perbuatan 

maksiat atau dosa. Jika kesalahan yang demikian membuat kita 

berputus asa daripada rahmat dan pertolongan Allah s.w.t itu 

tandanya pergantungan kita kepada-Nya sangat lemah. 

 

Firman-Nya:

 

“Wahai anak-anakku! Pergilah dan intiplah khabar berita 

mengenai Yusuf dan saudaranya (Bunyamin), dan janganlah kamu 

berputus asa dari rahmat serta pertolongan Allah. Sesungguhnya

tidak berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah melainkan 

kaum yang kafir ”. |

 ( Ayat 87 : Surah Yusuf )

 

Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang beriman kepada Allah 

s.w.t meletakkan pergantungan kepada-Nya walau dalam keadaan 

bagaimana sekali pun. Pergantungan kepada Allah s.w.t membuat 

hati tidak berputus asa dalam menghadapi dugaan hidup. Kadang-

kadang apa yang diingini, dirancangkan dan diusahakan tidak 

mendatangkan hasil yang diharapkan.

 

Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diingini bukan bermakna tidak mene

rima pemberian Allah s.w.t. Selagi seseorang itu beriman dan

bergantung kepada-Nya selagi itulah Dia melimpahkan rahmat-Nya. Kegagalan 

memperolehi apa yang dihajatkan bukan bermakna tidak mendapat 

rahmat Allah s.w.t.

 

Apa juga yang Allah s.w.t lakukan kepada orang yang beriman pasti

terdapat rahmat-Nya, walaupun dalam soal tidak menyampaikan

hajatnya. Keyakinan terhadap yang demikian menjadikan orang

yang beriman tabah menghadapi ujian hidup, tidak sekali-kali berputus asa.

Mereka yakin bahwa apabila mereka sandarkan segala perkara kepada

Allah s.w.t, maka apa juga amal kebaikan yang mereka lakukan tidak

akan menjadi sia-sia. 

 

Orang yang tidak beriman kepada Allah s.w.t berada dalam situasi 

yang berbeda. Pergantungan mereka hanya tertuju kepada amalan

mereka, yang terkandung di dalamnya ilmu dan usaha. Apabila 

mereka mengadakan sesuatu usaha berdasarkan kebolehan dan 

pengetahuan yang mereka ada, mereka mengharapkan akan 

mendapat hasil yang setimpal. Jika ilmu dan usaha (termasuklah 

pertolongan orang lain) gagal mendatangkan hasil, mereka tidak 

mempunyai tempat bersandar lagi. Jadilah mereka orang yang 

berputus asa. Mereka tidak dapat melihat hikmat kebijaksanaan 

Allah s.w.t mengatur perjalanan takdir dan mereka tidak mendapat 

rahmat dari-Nya.

 

Jika orang kafir tidak bersandar kepada Allah s.w.t dan mudah 

berputus asa, di kalangan sebagian orang Islam juga ada yang 

demikian, bergantung setakat mana sifatnya menyerupai sifat orang 

kafir. Orang yang separti ini melakukan amalan karena kepentingan 

diri sendiri, bukan karena Allah s.w.t. Orang ini mungkin 

mengharapkan dengan amalannya itu dia dapat mengecapi 

kemakmuran hidup di dunia.

 

Dia mengharapkan semoga amal kebajikan yang dilakukannya dapat

mengeluarkan hasil dalam bentuk bertambah rezekinya, kedudukannya

atau pangkatnya, orang lain semakin menghormatinya dan dia juga

dihindarkan daripada bala penyakit, kemiskinan dan sebagainya.

Bertambah banyak amal kebaikan yang dilakukannya bertambah

besarlah harapan dan keyakinannya tentang kesejahteraan hidupnya. 

Sebagian kaum muslimin yang lain mengaitkan amal kebaikan 

dengan kemuliaan hidup di akhirat.

 

Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki syurga,

juga bagi menjauhkan azab api neraka. Kerohanian orang yang

bersandar kepada amal sangat lemah, terutamanya mereka yang

mencari keuntungan keduniaan dengan amal mereka. Mereka tidak

tahan menempuh ujian. Mereka mengharapkan perjalanan hidup

mereka senantiasa selasai dan segala-segalanya berjalan menurut

apa yang dirancangkan.

 

Apabila sesuatu itu berlaku di luar jangkauan, mereka cepat panik dan 

gelisah. Bala bencana membuat mereka merasakan yang merekalah 

manusia yang paling malang di atas muka bumi ini. Bila berjaya 

memperoleh sesuatu kebaikan, mereka merasakan kejayaan itu 

disebabkan kepandaian dan kebolehan mereka sendiri. Mereka 

mudah menjadi ego serta suka menyombong. 

 

Apabila rohani seseorang bertambah teguh dia melihat amal itu 

sebagai jalan untuknya mendekatkan diri dengan Tuhan. Hatinya 

tidak lagi cenderung kepada faedah duniawi dan ukhrawi tetapi dia 

berharap untuk mendapatkan kurniaan Allah s.w.t separti terbuka 

hijab-hijab yang menutupi hatinya. Orang ini merasakan amalnya 

yang membawanya kepada Tuhan.

 

Dia sering mengaitkan pencapaiannya dalam bidang kerohanian

dengan amal yang banyak dilakukannya separti berzikir,

sunat, berpuasa dan lain-lain. Bila dia tartinggal melakukan sesuatu

amal yang biasa dilakukannya atau bila dia tergelincir melakukan

kesalahan maka dia merasa dijauhkan oleh Tuhan. Inilah orang

yang pada peringkat permulaan mendekatkan dirinya dengan Tuhan

melalui amalan tarekat tasawuf. 

 

Jadi, ada golongan yang bersandar kepada amal semata-mata dan 

ada pula golongan yang bersandar kepada Tuhan melalui amal. 

Kedua-dua golongan tersebut berpegang kepada keberkahan amal 

dalam mendapatkan sesuatu. Golongan pertama kuat berpegang 

kepada amal zahir, yaitu perbuatan zahir yang dinamakan usaha 

atau ikhtiar. Jika mereka bersalah memilih ikhtiar, hilanglah 

harapan mereka untuk mendapatkan apa yang mereka hajatkan. 

 

Ahli tarekat yang masih diperingkat permulaian pula kuat bersandar 

kepada amalan batin separti sembahyang dan berzikir. Jika mereka 

tartinggal melakukan sesuatu amalan yang biasa mereka lakukan,

akan berkurangan harapan mereka untuk mendapatkan anugerah 

dari Allah s.w.t. Sekiranya mereka tergelincir melakukan dosa, akan 

putuslah harapan mereka untuk mendapatkan anugerah Allah s.w.t. 

 

Dalam perkara bersandar kepada amal ini, termasuklah juga 

bersandar kepada ilmu, sama ada ilmu zahir atau ilmu batin. Ilmu 

zahir adalah ilmu penkehendakan dan pengurusan sesuatu perkara 

menurut kekuatan akal. Ilmu batin pula adalah ilmu yang 

menggunakan kekuatan gaib bagi menyampaikan hajat. Ia 

termasuklah penggunaan ayat-ayat al-Quran dan jampi. 

 

Kebanyakan orang meletakkan keberkahan kepada ayat, jampi dan 

usaha, hinggakan mereka lupa kepada Allah s.w.t yang meletakkan 

keberkahan kepada tiap sesuatu itu. 

Seterusnya, sekiranya Tuhan izinkan, kerohanian seseorang 

meningkat kepada makam yang lebih tinggi. Nyata di dalam hatinya 

maksud kalimat:

َ

Tiada daya dan upaya kecuali beserta Allah.

 

“Padahal Allah yang mencipta kamu 

dan benda-benda yang kamu perbuat itu!” 

( Ayat 96 : Surah as- Saaffaat )

 

Orang yang di dalam makam ini tidak lagi melihat kepada amalnya, 

walaupun banyak amal yang dilakukannya namun, hatinya tetap 

melihat bahwa semua amalan tersebut adalah kurniaan Allah s.w.t 

kepadanya. Jika tidak karena taufik dan hidayat dari Allah s.w.t 

tentu tidak ada amal kebaikan yang dapat dilakukannya. Allah s.w.t 

berfirman:

 

“Ini ialah dari limpah kurnia Tuhanku, untuk mengujiku adakah 

aku bersyukur atau aku tidak mengenangkan nikmat pemberian-

Nya. Dan (sebenarnya) siapa yang bersyukur maka faedah 

syukurnya itu hanyalah terpulang kepada dirinya sendiri, dan siapa 

yang tidak bersyukur (maka tidaklah menjadi masalah kepada 

Allah), karena sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, lagi Maha 

Pemurah”.|

( Ayat 40 : Surah an-Naml )

 

Dan tiadalah kamu berkemauan (melakukan sesuatu perkara) 

melainkan dengan cara yang dikehendaki Allah; sesungguhnya 

Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana 

(mengaturkan sebarang perkara yang dikehendaki-Nya). Ia 

memasukkan siapa yang kehendaki-Nya (menurut aturan yang 

ditetapkan) ke dalam rahmat-Nya (dengan ditempatkan-Nya di 

dalam syurga); dan orang-orang yang zalim, Ia menyediakan untuk 

mereka azab seksa yang tidak terperi sakitnya. |

(Ayat 30-31 : al-Insaan )

 

Segala-galanya adalah kurniaan Allah s.w.t dan menjadi milik-Nya. 

Orang ini melihat kepada takdir yang Allah s.w.t tentukan, tidak 

terlihat olehnya keberkahan perbuatan makhluk termasuklah

perbuatan dirinya sendiri. Makam ini dinamakan makam ariffin 

yaitu orang yang mengenal Allah s.w.t. Golongan ini tidak lagi 

bersandar kepada amal namun, merekalah yang paling kuat 

mengerjakan amal ibadat. 

 

Orang yang masuk ke dalam lautan takdir, rido dengan segala yang 

ditentukan Allah s.w.t, akan senantiasa tenang, tidak berdukacita 

bila kehilangan atau ketiadaan sesuatu. Mereka tidak melihat 

makhluk sebagai penyebab atau pengeluar kesan. 

Di awal perjalanan menuju Allah s.w.t, seseorang itu kuat beramal 

menurut tuntutan syariat. Dia melihat amalan itu sebagai kendaraan 

yang boleh membawanya hampir dengan Allah s.w.t. Semakin kuat 

dia beramal semakin besarlah harapannya untuk berjaya dalam 

perjalanannya.

 

Apabila dia mencapai satu tahap, pandangan mata hatinya terhadap

amal mulai berubah. Dia tidak lagi melihat amalan sebagai alat atau

penyebab. Pandangannya beralih kepada kurniaan Allah s.w.t.

Dia melihat semua amalannya adalah kurniaan Allah s.w.t kepadanya

dan kehampirannya dengan Allah s.w.t juga kurniaan-Nya. Seterusnya

terbuka hijab yang menutupi dirinya dan dia mengenali dirinya dan

mengenali Tuhannya. 

 

Dia melihat dirinya sangat lemah, hina, jahil, serba kekurangan dan 

faqir. Tuhan adalah Maha Kaya, Berkuasa, Mulia, Bijaksana dan 

Sempurna dalam segala segi. Bila dia sudah mengenali dirinya dan 

Tuhannya, pandangan mata hatinya tertuju kepada Kudrat dan 

Iradat Allah s.w.t yang meliputi segala sesuatu dalam alam maya 

ini. Jadilah dia seorang arif yang senantiasa memandang kepada 

Allah s.w.t, berserah diri kepada-Nya, bergantung dan berhajat 

kepada-Nya. Dia hanyalah hamba Allah s.w.t yang faqir.

 







                                                                                          Isi Kandungan

Kembali