Siri 4 - No. 4 : Allah Mengatur segala Urusan
KUPASAN 1
SYARAH HIKMAH KE-4
أَرِحْ
نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ
لِنَفْسِكَ
“Istirahatkan
dirimu atau pikiranmu dari kesibukan mengatur kebutuhan duniamu. Sebab apa yang
sudah dijamin diselesaikan oleh selain kamu, tidak usah engkau sibuk
memikirkannya.”
Sejatinya, perkara rezeki sudah diatur oleh Allah semenjak engkau
belum ada.
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
أَرِحْ
نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ
“Istirahatkan
dirimu atau pikiranmu dari kesibukan mengatur kebutuhan duniamu.”
Istirahatkanlah dirimu dari memikirkan sesuatu yang belum terjadi.
Yakni jangan banyak berangan-angan dan memikirkan hal-hal yang belum terjadi,
seperti halnya memikirkan makan apa untuk hari esok atau bulan depan, karena
Allah sudah mengira-ngirakan rezeki untukmu jauh sebelum engkau ada, begitu
juga ajalmu, nikmat, dan cobaan untukmu. Belum tentu apa yang engkau pikirkan
besok akan terjadi, sehingga pikiran dan angan-angan itu tidak berguna dan
sia-sia belaka.
Tidak pernahkan engkau berpikir, dulu sebelum engkau ada, engkau
pun tidak pernah memikirkan dan tidak meminta pada Allah untuk mewujudkanmu,
lalu Allah berkehendak untuk menampakkanmu dengan kehendak-Nya sendiri bukan
dengan adanya permintaanmu. Allah menampakkanmu dengan kehendak-Nya sendiri
melalui tulang rusuk kedua orang tuamu, lalu Allah memindahkan dalam kandungan
ibumu, mulai dari segumpal darah selama 40 hari, lalu menjadi segumpal daging
selama 40 hari, lalu Allah membentukmu menjadi laki-laki atau perempuan selama
40 hari dan memberinya ruh, sehingga menjadi sebuah janin yang membutuhkan
makan dan minum. Kemudian Allah menjadikan darah haidh sebagai makanan dan
minuman janin tersebut, dan Allah menetapkan ajal, rezeki, cobaan dan nikmat
untuknya begitu pula keberuntungan dan musibah atau kegagalan.
Kemudian Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu (lahir), engkau pun
berkeinginan untuk makan dan minum, saat itu engkau sangat lemah dan tidak
berdaya untuk mengunyah. Sehingga Allah menjadikan air susu ibumu sebagai
makanan dan minuman supaya engkau mampu bertahan. Engkau menjadi beban yang
teramat menyusahkan, akan tetapi Allah menaruh rasa belas kasih pada hati kedua
orang tuamu. Sehingga mereka mau merawatmu dengan sungguh-sungguh dan penuh
kasih-sayang. Mereka mengayun menimangmu dan menyiapkan kebutuhanmu, mulai
engkau bayi sampai engkau besar. Lalu Allah memberi engkau kecerdasan, memberi
akal sesuai kadarnya, memberi iman, ilmu dan lainnya.
Apakah semua itu diperoleh sebab ikhtiyār dan permohonanmu kepada
Allah? Atau karena angan-angan dan pemikiranmu? Tidak! Semua itu terjadi atas
kehendak qadhā’ qadar dan
belas kasih Allah. Jika begitu halnya, maka apalah guna engkau ikut serta
mengangankan, memikirkan, dan mengira-ngirakan? Karena orang yang ikut serta
memikirkan perkara yang bukan menjadi urusannya itu tidak ada gunanya. Oleh
karena itu, Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
فَمَا
قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ
“Sebab apa
yang sudah dijamin diselesaikan oleh selain kamu, tidak usah engkau sibuk
memikirkannya.”
Apa yang sudah diurus untukmu oleh Tuhanmu (Allah), janganlah
engkau turut mengurusnya.
Apa yang sudah ditanggung oleh Allah untukmu, apakah itu dalam
hal-ihwal rezekimu serta lainnya, maka engkau jangan ikut serta mengurusnya, karena
Allah berfirman:
وَ
مَا مَنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا.
“Tidak ada
satu binatang melatapun di bumi ini kecuali Allah sudah menanggung rezekinya....”
(Hūd [11]: 6).
Andaikan seorang raja dunia sudah menanggung kebutuhan duniawi
selama hidupmu, dia memberimu sebuah bukti berupa surat yang di dalamnya ada
tanda tangan raja itu sendiri, bahwa beliau benar-benar sudah menanggung
makanan dan pakaian untukmu sepanjang hidupmu, maka engkau akan benar-benar mau
mempercayainya dengan adanya surat dari raja tersebut. Nah, bagaimana bila yang
menjamin dan menanggungnya adalah raja dari semua raja yang menguasai langit
dan bumi, lebih-lebih Dia sudah menurukan sebuah surat melalui kitab suci-Nya
(al-Qur’ān). Lalu apakah engkau tidak mempercayainya dan engkau masih saja
memikir-mikirkan masalah pangan dan sandangmu, dalam artian, tidak mempercayai
janji Allah. Maka dengan adanya imanmu yang seperti ini, sungguh amat hina
dirimu. Jikalau engkau mau mempercayai janji raja dunia yang lemah tapi tidak
mau mempercayai janji Allah, Dzat yang menguasai langit dan bumi, maka sungguh
telah hilang keimanan pada dirimu, maka renungkanlah nasehat ini, wallāhu a‘lam.
Ketahuilah, wahai saudaraku sekalian, sesungguhnya sesuatu yang
bisa menjadikan hilangnya tadbīr (memikirkan
suatu hal yang belum terjadi atas dasar keinginan nafsu dan syahwat dan ikhtiyār adalah
melihat pada 10 perkara:
Pertama, ketahuilah bahwa Allah sudah mengatur urusanmu sebelum engkau
ada.
Kedua, engkau akan mengetahui bahwasanya tadbīr yang engkau
lakukan itu karena engkau tidak mengetahui kebaikan Allah padamu. Seorang
mu’min pasti tahu bahwa meskipun dia tidak men-tadbīr urusan dirinya, Allah pasti
memberikan yang terbaik baginya. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah di
dalam al-Qur’ān?
وَ
مَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ.
“….dan
barang siapa yang berserah diri kepada Allah maka Allah-lah Dzat yang
mencukupinya….” (ath-Thalāq [65]: 3).
Maka ketika engkau ingin mengurus suatu kebaikan untuk dirimu maka
janganlah engkau mengurusnya lagi akan tetapi hanya berserah dirilah kepada
Allah.
Ketiga, ketahuilah bahwa sesungguhnya ketentuan (qadar) Allah itu tidak
berjalan sesuai tadbir-mu, bahkan kebanyakan hal yang terjadi pada dirimu itu
adalah sesuatu yang tidak pernah engkau pikirkan dan rencanakan.
Keempat, ketahuilah bahwasanya Allah-lah yang menguasai segala
kerajaan; 7 langit, 7 bumi, ‘arsy, kursy, dan tidak ada satupun yang ikut serta
berkuasa. Kesemuanya itu tunduk pada apa yang diperintahkan Allah s.w.t. dan
berserah diri pada tadbīr Allah,
maka lebih besar manakah antara kepala manusia dan langit beserta bumi
seisinya? Sehingga engkau tidak mau menerima tadbīr Allah dan engkau masih saja ikut
serta mengurus dirimu.
Kelima, engkau sudah mengetahui bahwa engkau adalah milik Allah, jika
engkau sudah dimiliki Allah maka dirimu bukan lagi milikmu dengan dalil bahwa
engkau tidak bisa membuat kesembuhan pada dirimu sendiri. Sehingga, sesuatu
yang bukan menjadi milikmu maka tidak layak bagimu untuk mengurusnya, karena
engkau akan meng-ghashab,
sebab memerintah yang bukan milikmu. Adapun sesuatu yang engkau miliki maka
kepemilikan itu hanya menurut hukum syara‘,
bukan menurut hukum ḥaqīqī.
Maka pahamilah!
Keenam, hendaknya engkau ketahui bahwa engkau ini hanya bertamu kepada
Allah. Karena semua dunia ini adalah ibarat “desa”-Nya Allah, dan engkau itu
hanya beristirahat di dalamnya, sekadar bertamu kepada Allah. Adapun hak-hak
tamu adalah tidak perlu ikut mengurus makanan apa yang hendak dimakan, bahkan
jangan ber-ikhtiyār untuk
membuat hidangan sendiri karena pemilik rumah pasti sudah mengatur hidangannya.
Begitu pula jika yang didatangi (dikunjungi) adalah raja yang amat kaya raya,
maka tidak layak bagimu untuk ikut serta mengurusnya hingga mencapai tiga hari.
Karena sabda Rasūlullāh s.a.w.:
الضِّيَافَةُ
ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ
“Hidangan tamu itu selama tiga hari.”
Engkau bertamu kepada Allah s.w.t., sedang satu hari menurut Allah
sama dengan seribu tahun menurut perhitungan harimu. Allah berfirman:
وَ
إِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّوْنَ.
“Sesungguhnya
satu hari menurut Allah itu sama halnya seribu tahun menurut perhitungan hari
kalian….” (al-Ḥajj [22]: 47).
Maksudnya, jika engkau hidup selama tiga ribu tahun, maka Allah
akan memberimu hidangan (rezeki) seumur hidupmu, tanpa kurang sesuatu apapun,
dan bila umurmu tidak sampai tiga ribu tahun, maka Allah akan menyempurnakan
hidangan tersebut di akhirat kelak, dengan menetapkanmu di surga atas fadhal Allah. Wallāhu a‘lam.
Pahamilah!
Ketujuh, hendaknya engkau merenungkan firman Allah yang berbunyi:
اللهُ
لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ.
“Allah,
tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi Terus-menerus mengurus
(makhluk-Nya)….” (al-Baqarah [2]: 255).
Allah adalah Dzat yang mengurus hamba-Nya baik di dunia maupun di
akhirat, di dunia dengan memberi rezeki dan di akhirat dengan memberi pahala
dan pembalasan (amal perbuatannya). Maka, jika engkau sudah mengetahui bahwa
Allah bersifat Qayyūm (Maha
Mengurus makhluk-Nya) maka berserah dirilah kepada-Nya!
Kedelapan, hendaklah engkau disibukkan dengan beribadah kepada Allah sampai
ajal menjemputmu, Allah berfirman:
وَ
اعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ.
“Beribadah
atau sembahlah Tuhanmu hingga engkau menghadapi kematian….”
(al-Ḥijr [15]: 99).
Ketika engkau tersibukkan oleh ibadah maka engkau tidak akan
berangan-angan dan ber-tadbīr untuk
dirimu sendiri. Wallāhu
a‘lam.
Kesembilan, sesungguhnya engkau sudah mengetahui bahwa engkau adalah hamba
Allah, dan hak-hak hamba adalah hendaknya tidak ikut serta mengurus dan
mengatur sebagaimana tuannya. Akan tetapi, kewajibannya adalah melayani apa
yang diperintahkan sang majikan, majikannya yang mengatur pemberian. Tidakkah
engkau mendengar firman Allah di dalam al-Qur’ān?
وَ
أْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَ اصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا
نَحْنُ نَرْزُقُكَ.
“(Wahai
Muḥammad) Perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah di
dalamnya (perkara shalat). Aku tidak meminta rezeki darimu (untuk memberi rezeki
kepada keluargamu) akan tetapi Aku-lah yang memberimu (dan keluargamu) rezeki…..”
(Thāhā [20]: 132).
Hal ini berarti tetaplah melayani majikanmu (Allah) dan majikanmu
yang akan menyiapkan atau mengurus sandang panganmu.
Kesepuluh, sesungguhnya engkau tidak mengetahui tentang akhir suatu perkara
dan engkau tidak bisa memperkirakannya. Engkau menganggap suatu perkara itu
bermanfaat, namun nyatanya membahayakan, engkau anggap berbahaya tapi nyatanya
bermanfaat.
Ketahuilah, sesungguhnya meninggalkan tadbīr dan ikhtiyār serta mau
menerima atau rela dengan tadbīr Tuhanmu
itu adalah ibadah yang paling utama. Sesungguhnya musibah yang paling besar
adalah ikut campur mengatur dengan ikhtiyār dan tadbīr-nya sendiri.
Musibah putra nabi Nūḥ a.s. yang mati dalam keadaan kafir, adalah sebab
mengikuti tadbīr-nya
sendiri dan menjauh dari tadbīr Allah.
Dan juga kafirnya iblis itu sebab mengikuti tadbīr-nya sendiri dan tidak mau
menerima tadbīr Allah.
KUPASAN 2
Al-Hikam Pasal
4
Istirahatkan
Dirimu dari Pengaturan
“JANGAN
IKUT MENGATUR”
أَرِحْ نــَفْسَـكَ مِنَ الـتَّدْبِــيْرِ، فَمَا قَامَ بِـهِ غَيْرُ كَ
عَـنْكَ لاَ تَـقُمْ بِـهِ لِنَفْسِكَ
"Istirahatkan
dirimu dari tadbiir (melakukan pengaturan-pengaturan)! Maka
apa-apa yang selainmu (Allah) telah melakukannya untukmu, janganlah engkau
(turut) mengurusinya untuk dirimu."
Syarah
Tanpa kita sadari, banyak hal yang telah Allah atur
untuk diri kita. Jaringan syaraf yang terus bekerja, paru-paru yang memompa
udara, oksigen yang kita hirup dengan leluasa, rizki yang kita makan, dan
banyak hal lain yang sesungguhnya telah Allah atur untuk setiap manusia. Maka
kita tidak perlu terlalu khawatir, takut, turut serta melakukan pengaturan
untuk diri kita sendiri, dan bertawakallah! Sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم
بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم
بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman
dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit
dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya.. – Q.S. Al-A'raaf [7]: 96
Yang di maksud TADBIIR (mengatur
diri sendiri)dalam hikmah ini yaitu Tadbir yang tidak di barengi dengan Tafwiidh (menyerahkan
kepada Alloh). Apabila Tadbir itu dibarengi dengan Tafwidh itu diperbolehkan,
bahkan Rosululloh bersabda: At-tadbiiru nishful ma-‘isyah.(mengatur
apa yang menjadi keperluan itu sebagian dari hasilnya mencari
ma’isah/penghidupan).
Hadits ini mengandung anjuran
untuk membuat peraturan didalam mencari fadholnya Alloh. pengertian Tadbir
disini ialah menentukan dan memastikan hasil. karena itu semua menjadi aturan
Alloh.
al-hasil, Tadbir yang dilarang
yaitu ikut mengatur dan menentukan/memastikan hasilnya.
Sebagai seorang hamba wajib
dan harus mengenal kewajiban, sedang jaminan upah ada di tangan majikan, maka
tidak usah risau pikiran dan perasaan untuk mengatur, karena kuatir kalau apa
yang telah dijamin itu tidak sampai kepadamu atau terlambat, sebab ragu
terhadap jaminan Allah tanda lemahnya iman.
KUPASAN 3
4. Allah Mengatur segala Urusan
TENANGKAN HATIMU DARI URUSAN TADBIR
KERANA
APA YANG DIATUR OLEH SELAIN-MU TENTANG
URUSAN
DIRIMU, TIDAK PERLU ENGKAU CAMPUR
TANGAN.
Kita bertauhid melalui dua cara,
pertama bertauhid dengan akal dan
keduanya bertauhid dengan hati. Bidang
akal ialah ilmu dan liputan
ilmu sangat luas, bermula dari pokok
kepada dahan-dahan dan
seterusnya kepada ranting ranting.
Setiap ranting ada
hujungnya, iaitu penyeleaiannya.
Ilmu bersepakat pada perkara pokok,
bertolak
ansur pada cabangnya dan berselisih
pada rantingnya atau
penyelesaiannya. Jawapan kepada sesuatu
masalah selalunya
berubah-ubah menurut pendapat baharu
yang ditemui.
Apa yang dianggap benar pada
mulanya dipersalahkan pada akhirnya.
Oleh sebab sifat ilmu yang
demikian orang awam yang berlarutan
membahas tentang sesuatu perkara boleh
mengalami kekeliruan dan
kekacauan fikiran. Salah satu perkara
yang mudah mengganggu
fikiran ialah soal takdir atau Qadak
dan Qadar.
Jika persoalan ini diperbahaskan
hingga kepada yang halus-halus
seseorang akan menemui kebuntuan
kerana ilmu tidak mampu
mengadakan jawapan yang konkrit.
Qadak dan Qadar diimani dengan hati.
Tugas ilmu ialah membuktikan
kebenaran apa yang diimani. Jika ilmu
bertindak menggoyangkan keimanan maka
ilmu itu harus disekat
dan hati dibawa kepada tunduk dengan
iman.
Kalam Hikmat keempat di atas membimbing
ke arah itu agar iman
tidak dicampur dengan keraguan. Selama
nafsu dan akal menjadi hijab,
beriman kepada perkara ghaib dan
menyerah diri secara menyeluruh
tidak akan dicapai. Qadak dan
Qadar termasuk dalam perkara ghaib.
Perkara ghaib disaksikan dengan
mata hati atau basirah.
Mata hati tidak dapat
memandang jika hati dibungkus oleh hijab nafsu.
Nafsu adalah kegelapan,
bukan kegelapan yang zahir tetapi kegelapan
dalam keghaiban. Kegelapan nafsu
itu menghijab sedangkan mata hati
memerlukan cahaya ghaib untuk melihat
perkara ghaib.
Cahaya ghaib yang menerangi
alam ghaib adalah cahaya roh
kerana roh adalah urusan Allah
s.w.t.
Cahaya atau nur hanya bersinar apabila
sesuatu itu ada perkaitan
dengan Allah s.w.t.
Allah adalah cahaya bagi semua langit
dan bumi.
( Ayat 35 : Surah an-Nur )
Dialah Yang Maha Tinggi darjat
kebesaran-Nya, yang mempunyai
Arasy (yang melambangkan keagungan dan
kekuasaan-Nya); Ia
memberikan wahyu darihal perintahNya
kepada sesiapa yang
dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya (yang telah dipilih
menjadi Rasul-Nya), supaya Ia memberi
amaran (kepada manusia)
tentang hari pertemuan | ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min )
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu
(wahai Muhammad) –
Al-Quran sebagai roh (yang menghidupkan
hati) dengan perintah
Kami; engkau tidak pernah mengetahui
(sebelum diwahyukan
kepadamu); apakah Kitab (Al-Quran) itu
dan tidak juga
mengetahui apakah iman itu; akan tetapi
Kami jadikan Al-Quran:
cahaya yang menerangi, Kami beri
petunjuk dengannya sesiapa
yang Kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami. Dan
sesungguhnya engkau (wahai Muhammad)
adalah memberi
petunjuk dengan Al-Quran itu ke jalan
yang lurus, - Iaitu jalan
Allah yang memiliki dan menguasai yang
ada di langit dan yang
ada di bumi. Kepada Allah jualah
kembali segala urusan.|
( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )
Apabila cahaya roh berjaya menghalau
kegelapan nafsu, mata hati
akan menyaksikan yang ghaib. Penyaksian
mata hati membawa hati
beriman kepada perkara ghaib dengan sebenar-benarnya.
Allah s.w.t telah menghamparkan jalan
yang lurus kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman. Dia
berfirman:
Pada hari ini, Aku telah sempurnakan
bagi kamu agama kamu, dan
Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kamu, dan
Aku telah redakan
Islam itu menjadi agama untuk kamu.
( Ayat 3 : Surah al-Maa’idah )
Umat Islam adalah umat yang paling
bertuah kerana Allah s.w.t
telah menyempurnakan nikmat-Nya ke atas
mereka dengan
mengurniakan Islam. Allah s.w.t
menjamin juga bahawa Dia reda
menerima Islam sebagai agama
mereka.
Jaminan Allah s.w.t itu sudah cukup
bagi mereka yang menuntut
keredaan Allah s.w.t untuk tidak
menoleh ke kiri atau ke kanan,
sebaliknya terus berjalan mengikut
landasan yang telah dibina oleh
Islam. Islam adalah perlembagaan yang
lengkap mencakupi semua
aspek kehidupan baik yang zahir mahupun
yang batin.
Islam telah menjelaskan apa yang mesti
dibuat, apa yang mesti
tidak dibuat, bagaimana mahu bertindak
menghadapi sesuatu dan
bagaimana jika tidak mahu melakukan
apa-apa. Segala peraturan
dan kod etika sudah dijelaskan dari
perkara yang paling kecil
hingga kepada yang paling besar.
Sudah dijelaskan cara
beribadat, cara berhubungan sesama manusia,
cara membahagikan harta pusaka,
cara mencari dan membelanjakan
harta, cara makan, cara minum,
cara berjalan, cara mandi,
cara memasuki jamban, cara hukum qisas
cara melakukan
hubungan kelamin,
cara menyempurnakan mayat dan
semua aspek kehidupan
diterangkan dengan jelas.
Umat Islam tidak perlu bertengkar
tentang
penyelesaian terhadap sesuatu masalah.
Segala penyelesaian telah
dibentangkan, hanya tegakkan iman dan
rujuk kepada Islam itu
sendiri nescaya segala pertanyaan akan
terjawab. Begitulah
besarnya nikmat yang dikurniakan kepada
umat Islam.
Kita perlulah menjiwai Islam untuk
merasai nikmat yang
dikurniakan itu. Kewajipan kita ialah
melakukan apa yang telah
Allah s.w.t aturkan sementara hak
mengatur atau mentadbir adalah
hak Allah s.w.t yang mutlak.
Jika terdapat peraturan Allah
s.w.t yang tidak dipersetujui oleh nafsu kita,
jangan pula melentur peraturan tersebut
atau membuat peraturan baharu,
sebaliknya nafsu hendaklah ditekan
supaya tunduk kepada peraturan
Allah s.w.t. Jika pendapat akal
sesuai dengan Islam maka yakinilah
akan kebenaran pendapat tersebut, dan
jika penemuan akal
bercanggah dengan Islam maka
akuilah bahawa akal telah tersilap di dalam
perkiraannya.
Jangan memaksa Islam supaya tunduk
kepada akal
semasa yang akan berubah pada masa yang
lain, tetapi tundukkan
akal kepada apa yang Tuhan kata yang
kebenarannya tidak akan
berubah sampai bila-bila.
Orang yang mengamalkan tuntutan Islam
disertai dengan beriman
kepada Qadak dan Qadar, jiwanya akan
sentiasa tenang dan damai.
Putaran roda kehidupan tidak membolak-balikkan
hatinya kerana
dia melihat apa yang berlaku adalah
menurut apa yang mesti
berlaku.
Dia pula mengamalkan kod yang terbaik
dan dijamin oleh
Allah s.w.t. Hatinya tunduk kepada
hakikat bahawa Allah s.w.t
yang mentadbir sementara sekalian hamba
berkewajipan taat
kepada-Nya, tidak perlu masuk campur
dalam urusan-Nya.
Mungkin timbul pertanyaan apakah orang
Islam tidak boleh
menggunakan akal fikiran, tidak boleh
mentadbir kehidupannya dan
tidak boleh berusaha membaiki
kehidupannya? Apakah orang Islam
mesti menyerah bulat-bulat kepada
takdir tanpa tadbir? Allah s.w.t
menceritakan tentang tadbir orang yang
beriman:
Maka Yusuf pun mulailah memeriksa
tempat-tempat barang
mereka, sebelum memeriksa tempat barang
saudara kandungnya
(Bunyamin), kemudian ia mengeluarkan
benda yang hilang itu dari
tempat simpanan barang saudara
kandungnya. Demikianlah Kami
jayakan rancangan untuk (menyampaikan
hajat) Yusuf. Tidaklah ia
akan dapat mengambil saudara kandungnya
menurut undang-
undang raja, kecuali jika dikehendaki
oleh Allah. (Dengan ilmu
pengetahuan), Kami tinggikan pangkat
kedudukan sesiapa yang
Kami kehendaki; dan tiap-tiap yang
berilmu pengetahuan, ada lagi
di atasnya yang lebih mengetahui.|
(Ayat 76 : Surah Yusuf )
Dan kepunyaan-Nya jualah kapal-kapal
yang berlayar di lautan
laksana gunung-ganang. |
(Ayat 24 : Surah ar-Rahmaan )
Nabi Yusuf a.s, dengan kepandaiannya,
mengadakan muslihat
untuk membawa saudaranya, Bunyamin,
tinggal dengannya.
Kepandaian dan muslihat yang pada
zahirnya diatur oleh Nabi
Yusuf a.s tetapi dengan tegas Allah
s.w.t mengatakan Dia yang
mengatur muslihat tersebut dengan
kehendak dan kebijaksanaan-
Nya. Kapal yang pada zahirnya dibina
oleh manusia tetapi dengan
tegas Allah s.w.t mengatakan kapal itu
adalah kepunyaan-Nya.
Ayat-ayat di atas memberi pengajaran
mengenai tadbir yang
dilakukan oleh manusia. Rasulullah
s.a.w sendiri menganjurkan
agar pengikut-pengikut baginda s.a.w
mentadbir kehidupan mereka.
Tadbir yang disarankan oleh Rasulullah
s.a.w ialah tadbir yang
tidak memutuskan hubungan dengan Allah
s.w.t, tidak berganjak
dari tawakal dan penyerahan kepada
Tuhan yang mengatur
pentadbiran dan perlaksanaan.
Janganlah seseorang menyangka apabila
dia menggunakan otaknya
untuk berfikir maka otak itu berfungsi
dengan sendiri tanpa tadbir
Ilahi. Dari mana datangnya ilham yang
diperolehi oleh otak itu jika
tidak dari Tuhan? Allah s.w.t yang
membuat otak, membuatnya
berfungsi dan Dia juga yang
mendatangkan buah fikiran kepada
otak itu.
Tadbir yang dianjurkan oleh Rasulullah
s.a.w ialah tadbir
yang sesuai dengan al-Quran dan
as-Sunah.
Islam hendaklah dijadikan penapis untuk
mengasingkan pendapat
dan tindakan yang benar dari yang
salah. Islam menegaskan bahawa
sekiranya tidak kerana daya dan upaya
dari Allah s.w.t, pasti tidak
ada apa yang dapat dilakukan oleh
sesiapa pun.
Oleh yang demikian seseorang
mestilah menggunakan daya dan
upaya yang dikurniakan Allah s.w.t
kepadanya menurut keredaan
Allah s.w.t. Seseorang hamba Allah
s.w.t tidak sepatutnya melepaskan diri
dari penyerahan kepada Allah Yang
Maha Mengatur.
Apabila apa yang diaturkannya berjaya
menjadi kenyataan maka dia
akui bahawa kejayaan itu adalah
kerana persesuaian aturannya
dengan aturan Allah s.w.t. Jika
apa yang diaturkannya tidak menjadi,
diakuinya bahawa aturannya wajib
tunduk kepada aturan Allah s.w.t
dan tidak menjadi itu juga
termasuk di dalam tadbir Allah s.w.t.
Hanya Allah s.w.t yang berhak
untuk menentukan. Allah s.w.t
Berdiri Dengan Sendiri, tidak ada
sesiapa yang mampu campur tangan
dalam urusan-Nya.