Wednesday, August 11, 2021

Siri 2 - No. 2 : Ahli Asbab dan Ahli Tajrid

        Isi Kandungan

Kembali


Siri 2 - No. 2 : Ahli Asbab dan Ahli Tajrid



       









 




KUPASAN 1

SYARAH HIKMAH KE-2

 

إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدُ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ وَ إِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ انْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ

Keinginanmu utk tajrīd (melulu beribadah tanpa berusaha mencari dunia),  padahal Allah masih menempatkan engkau pada asbāb (harus berusaha untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari), termasuk syahwat nafsu yang samar. Sebaliknya keinginanmu untuk asbāb (berusaha), padahal Allah telah menempatkan dirimu pada tajrīd (melulu beribadah tanpa berusaha), maka demikian itu berarti menurun dari semangat yang tinggi.

 

Hendaknya orang yang sudah mencapai makrifah Allah mau menerima apa pun yang ditentukan oleh Allah baik (tingkatan) usaha atau lainnya.

 

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī berkata:

إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدُ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ

Keinginanmu untuk tajrīd (melulu beribadah tanpa berusaha mencari dunia),  padahal Allah masih menempatkan engkau pada asbāb (harus berusaha untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari), termasuk syahwat nafsu yang samar.

 

Keinginanmu untuk meninggalkan kasab (usaha) mencari ridhā’ Allah, padahal Allah telah menempatkanmu pada maqām (51kasab itu termasuk syahwat nafsu yang samar.

Boleh jadi, keinginanmu untuk meninggalkan kasab (usaha), padahal Allah telah menempatkanmu pada (maqāmkasab itu adalah keinginan nafsu agar engkau dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang zuhud. Dengan demikian, engkau termasuk orang yang tidak mempunyai tata-krama kepada Allah s.w.t. karena tidak mau menerima apa yang sudah ditentukan oleh Allah untukmu. Engkau menjadi orang yang melampaui kehendak Allah. Adapun tanda bahwa engkau ditempatkan pada maqām kasab itu adalah dengan wujud selamatnya agamamu. Engkau tetap berusaha, tetap melakukan ibadah, shalat berjamā‘ah, mengaji, memperbanyak ketaatan, serta bekerja memenuhi nafkah keluarga.

Berubahnya keinginanmu untuk meninggalkan kasab itu temasuk bujuk rayu iblis. Maka sesungguhnya iblis terkadang berucap kepadamu: “Jila engkau meninggalkan kasab niscaya engkau menjadi golongan orang-orang yang dicintai oleh Allah, menjadi golongan orang-orang yang ber-tawakkal kepada Allah, bisa dekat dengan Allah, dan semakin taat kepada Allah. Jika engkau mau menurutinya maka setelah meninggalkan kasab engkau akan dilanda kegalauan dalam imanmu, hilanglah ketauhidanmu, bersandar diri pada makhluk sebab sempitnya rezekimu, dan selalu mengharapkan pemberian makhluk. Pada akhirnya, engkau yang asalnya menyembah Allah berbalik menjadi menyembah makhluk. Dengan begitu, hilanglah keimananmu, dan bergembiralah Iblis.

 

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī berkata:

وَ إِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ انْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ

Sebaliknya keinginanmu untuk asbāb (berusaha), padahal Allah telah menempatkan dirimu pada tajrīd (melulu beribadah tanpa berusah), maka demikian itu berarti menurun dari semangat yang tinggi.

 

Keinginanmu untuk asbāb (berusaha), padahal Allah sudah menempatkanmu untuk meninggalkan usaha itu bisa menurunkan dirimu dari semangat yang tinggi pada semangat yang lebih rendah. Karena setelah engkau mengharap hanya kepada Allah disertai dengan keayakinan iman, bahwa hanya Allah-lah Dzat yang Maha Memberi Rezeki, maka engkau akan kembali berharap kepada makhluk. Angan-anganmu akan menjadi hina.

Alhasil, wajib bagi orang yang sudah makrifah Allah rela menerima apapun maqām (tempat) yang ditentukan oleh Allah dan menetapinya, hingga Allah memindahkannya pada maqām yang lain. Adapun tanda engkau ditempatkan pada maqām tajrīd (melulu beribadah tanpa berusaha mencari dunia atau meningalkan usaha) adalah mudahnya engkau mendapatkan penghidupan dari manapun datangnya rezeki tersebut. Dengan begitu, engkau tidak mengharap-harapkan pemberian makhluk, tidak tamak terhadap haknya makhluk, dan hati pun tetap tenang meskipun rezekinya sulit. Ketika hatimu telah terpatri hanya kepada Allah, istaqamah dalam beribadah, tidak meninggalkan ibadah karena sulitnya rezeki, jika engkau sudah mendapatkan hal-hal tadi pada dirimu maka, wajib bagimu untuk meninggalkan kasab (usaha) dan menerima anugerah yang diberikan Allah.

Wallāhu a‘lam.

Catatan:


  1. 5). Maqām adalah sebuah istilah dunia sufistik yang menunjukkan arti tentang suatu nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang sālik (seorang hamba perambah kebenaran spiritual dalam praktik ibadah) melalui beberapa tingkatan mujāhadah secara gradual dari satu tingkatan laku batin menuju pencapaian tingkatan maqām berikutnya dengan sebentuk amalan (mujāhadah) tertentu. Tegasnya, ia adalah pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian yang tak kenal lelah. Syaratnya berat, beban kewajibannya pun juga berat. Ketika itu, seseorang yang sedang menduduki atau memperjuangkan untuk menduduki sebuah maqām (proses pencarian) harus menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam maqām yang sedang dikuasainya. Karena itu, dia akan selalu sibuk dengan berbagai riyādhah (latihan jiwa). Seseorang tidak akan mencapai suatu maqām dari maqām sebelumnya selama dia belum memenuhi ketentuan, hukum dan syarat maqām yang hendak dilangkahinya atau yang sedang ditingkatkannya. Orang yang belum mampu bersikap qanā‘ah (kepuasan batin terhadap pemberian Allah, meski amat kecil), maka tawakkal-nya tidak sah. Orang yang belum mampu berpasrah diri kepada Allah maka penyerahan totalitas dirinya (kemuslimannya) tidak sah. Orang yang belum taubat maka penyesalannya tidak sah. Orang yang belum wirā‘i (sikap hati-hati dalam penerapan hukum), maka ke-zuhud-annya tidak sah. Berarti, maqām zuhud, umpamanya, tidak mungkin tercapi sebelum pelakunya itu sudah mewujudkan maqām wirā‘i. Secara bahasa “al-maqām” berarti “al-iqāmah”, yaitu penegakan atau aktualisasi suatu nilai moral. Hal ini seperti kata “al-madkhal” yang berarti “idkhāl”, yaitu proses pemasukan atau memasukkan. Sebaliknya, term “al-makhraj” berarti “al-ikhrāj”, yaitu proses pengeluaran. Karena itu, keberadaan maqām seseorang tidak dianggap sah kecuali dengan penyaksian kehadiran Allah secara khusus dalam nilai maqām yang diaktualkannya, mengingat sahnya suatu bangunan perintah Tuhan hanya berdiri di atas dasar yang sah pula. Lihat: Abul-Qāsim ‘Abd-ul-Karīm Hawāzin al-Qusyairī an-Naisābūrī, ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, al-Maktabah al-‘Ashriyyah, cet. ke-1, Libanon, 2001, hal. 56-57. 

 


KUPASAN 2

 

Al-Hikam Pasal 2

Syahwat dan Himmah

“TAJRID dan KASAB”


إِرَ ادَ تُــكَ الـتَّجْرِ يْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَ ةِ الْخَفِـيـَّةِ.
وَ إِرَادَ تُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ

"Keinginanmu untuk tajrid, sementara Allah masih menegakkan engkau di dalam asbab, merupakan syahwah yang tersamar (halus). Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah sudah menegakkan engkau dalam tajrid, merupakan suatu kejatuhan dari himmah yang tinggi."

 

Syarah

Dalam pasal ini, Ibnu Atha’illah menggunakan beberapa istilah baku dalam khazanah sufi, yang harus dipahami terlebih dahulu agar mendapatkan pemahaman yang utuh. Istilah-istilah itu adalah: tajridasbabsyahwat danhimmah.

Tajrid secara bahasa memiliki arti: penanggalan, pelepasan, atau pemurnian. Secara maknawi adalah penanggalan aspek-aspek dunia dari jiwa (nafs), atau secara singkat bisa dikatakan sebagai pemurnian jiwa.

Asbab secara bahasa memiliki arti: sebab-sebab atau sebab-akibat. Secara maknawi adalah status jiwa (nafs) yang sedang Allah tempatkan dalam dunia sebab akibat. Semisal Iskandar Zulkarnain yang Allah tempatkan sebagai raja di dunia, mengurusi dunia sebab-akibat.

Syahwah (atau syahwat) secara bahasa memiliki arti: tatapan yang kuat, atau keinginan. Secara maknawi merupakan keinginan kepada bentuk-bentuk material dan duniawi, seperti harta, makanan dan lawan jenis. Berbeda dari syahwat, hawa-nafsu (disingkat “nafsu”) adalah keinginan kepada bentuk-bentuk non-material, seperti ego, kesombongan, dan harga diri.

Himmah merupakan lawan kata dari syahwat, yang juga memiliki arti keinginan. Namun bila syahwat merupakan keinginan yang rendah, maka himmah adalah keinginan yang tinggi, keinginan menuju Allah.

Adakalanya Allah menempatkan seseorang dalam dunia asbab dalam kurun tertentu—misalnya, untuk mencari nafkah, mengurus keluarga, atau memimpin negara. Bila seseorang sedang Allah tempatkan dalam kondisi asbab itu, namun dia berkeinginan untuk tajrid (misalkan dengan ber-uzlah), maka itu dikatakan sebagai syahwat yang samar. Sebaliknya, saat Allah menempatkan seseorang dalam tajrid, namun dia justru menginginkan asbab, maka itu merupakan sebuah kejatuhan dari keinginan yang tinggi.

Inilah pentingnya untuk berserah diri dalam bersuluk, agar mengetahui kapan seseorang harus tajrid dan kapan seseorang harus terjun dalam dunia asbab. Semua kehendak seorang salik haruslah bekesesuaian dengan Kehendak Allah.

Sebagai seorang yang beriman, haruslah berusaha menyempurnakan imannya dengan berfikir tentang ayat-ayat Alloh, dan beribadah dan harus tahu bahwa tujuan hidup itu hanya untuk beribadah(menghamba) kepada Alloh,sesuai tuntunan Al-qur’an.

Tetapi setelah ada semangat dalam ibadah, kadang ada yang berpendapat bahwa salah satu yang merepoti/mengganggu dalam ibadah yaitu bekerja(kasab). Lalu berkeinginan lepas dari kasab/usaha dan hanya ingin melulu beribadah.

Keinginan yang seperti ini termasuk keinginan nafsu yang tersembunyi/samar.

Sebab kewajiban seorang hamba, menyerah kepada apa yang dipilihkan oleh majikannya. Apa lagi kalau majikan itu adalah Alloh yang maha mengetahui tentang apa yang terbaik bagi hambanya.

Dan tanda-tanda bahwa Alloh menempatkan dirimu dalam golongan orang yang harus berusaha [kasab], apabila terasa ringan bagimu, sehingga tidak menyebabkan lalai menjalankan suatu kewajiban dalam agamamu, juga menyebabkan engkau tidak tamak [rakus] terhadap milik orang lain.

Dan tanda bahwa Allah mendudukkan dirimu dalam golongan hamba yang tidak berusaha [Tajrid]. Apabila Tuhan memudahkan bagimu kebutuhan hidup dari jalan yang tidak tersangka, kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap ingat dan bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban.

  Syeikh Ibnu ‘Atoillah berkata : “Aku datang kepada guruku Syeikh Abu Abbas al- mursy. Aku  merasa, bahwa untuk sampai kepada Allah dan masuk dalam barisan para wali dengan sibuk pada ilmu lahiriah dan bergaul dengan sesama manusia (kasab) agak jauh dan tidak mungkin. tiba-tiba sebelum aku sempat bertanya, guru bercerita: Ada seorang ahli dibidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat merasakan sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata: Aku akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu. Aku menjawab: Bukan itu yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang akan diberikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu.

 

 





KUPASAN 3

 

N2. Ahli Asbab dan Ahli Tajrid

 

ِKEINGINAN KAMU UNTUK BERTAJRID PADAHAL ALLAH MASIH 

MELETAKKAN KAMU DALAM SUASANA ASBAB ADALAH 

SYAHWAT YANG SAMAR, SEBALIKNYA KEINGINAN KAMU UNTUK 

BERASBAB PADAHAL ALLAH TELAH MELETAKKAN KAMU DALAM 

SUASANA TAJRID BERARTI TURUN DARI SEMANGAT DAN 

TINGKAT YANG TINGGI.

 

Hikmat 1 menerangkan tanda orang yang bersandar kepada amal. 

Bergantung kepada amal adalah sifat manusia biasa yang hidup 

dalam dunia ini. Dunia ini dinamakan alam asbab. Apabila 

perjalanan hidup keduniaan dipandang melalui mata ilmu atau mata 

akal akan dapat disaksikan kerapian susunan sistem sebab musabab 

yang mempengaruhi segala kejadian. Tiap sesuatu berlaku menurut 

sebab yang menyebabkan ia berlaku. Hubungan sebab dengan 

akibat sangat erat. Mata akal melihat dengan jelas keberkahan sebab 

dalam menentukan akibat.

 

Kerapian sistem sebab musabab ini membolehkan manusia mengambil

manfaat daripada anasir dan kejadian alam. Manusia dapat menentukan

anasir yang boleh memudaratkan kesehatan lalu menjauhkannya dan

manusia juga boleh menentukan anasir yang boleh menjadi obat lalu 

menggunakannya. Manusia boleh membuat ramalan cuaca, pasang

surut air laut, angin, ombak, letupan gunung berapi dan lain-lain 

karena sistem yang mengawal perjalanan anasir alam berada dalam 

suasana yang sangat rapi dan sempurna, membentuk hubungan 

sebab dan akibat yang padu. 

 

Allah s.w.t mengadakan sistem sebab musabab yang rapi adalah 

untuk kemudahan manusia menyusun kehidupan mereka di dunia 

ini. Kekuatan akal dan pancaindera manusia mampu menkehendak 

kehidupan yang dikaitkan dengan perjalanan sebab musabab. Hasil 

daripada penelitian dan kajian akal itulah lahir berbagai-bagai jenis 

ilmu tentang alam dan kehidupan, separti ilmu sains, astronomi, 

kedoktoran, teknologi maklumat dan sebagainya. Semua jenis ilmu 

itu dibentuk berdasarkan perjalanan hukum sebab-akibat. 

Kerapian sistem sebab musabab menyebabkan manusia terikat kuat 

dengan hukum sebab-akibat. Manusia bergantung kepada amal 

(sebab) dalam mendapatkan hasil (akibat). Manusia yang melihat 

kepada keberkahan sebab dalam menentukan akibat serta bersandar 

dengannya dinamakan ahli asbab. 

 

Sistem sebab musabab atau perjalanan hukum sebab-akibat sering 

membuat manusia lupa kepada kekuasaan Allah s.w.t. Mereka 

melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan bahwa akibat akan 

lahir daripada sebab, seolah-olah Allah s.w.t tidak ikut campur 

dalam urusan mereka. Allah s.w.t tidak suka hamba-Nya 

„mempertuhankan‟ sesuatu kekuatan sehingga mereka lupa kepada 

kekuasaan-Nya. Allah s.w.t tidak suka jika hamba-Nya sampai 

kepada tahap mempersekutukan diri- Nya dan kekuasaan-Nya 

dengan anasir alam dan hukum sebab-akibat ciptaan-Nya.

 

Dia yang meletakkan keberkahan kepada anasir alam berkuasa membuat 

anasir alam itu lemah semulai. Dia yang meletakkan kerapian pada 

hukum sebab-akibat berkuasa merombak hukum tersebut. Dia 

mengutuskan rasul-rasul dan nabi-nabi membawa mukjizat yang

merombak hukum sebab-akibat bagi mengembalikan pandangan 

manusia kepada-Nya, agar paham sebab musabab tidak menghijab 

ketuhanan-Nya. 

 

Kelahiran Nabi Isa a.s, terbelahnya laut dipukul oleh tongkat Nabi 

Musa a.s, kehilangan kuasa membakar yang ada pada api tatkala 

Nabi Ibrahim a.s masuk ke dalamnya, keluarnya air yang jernih dari 

jari-jari Nabi Muhammad s.a.w dan banyak lagi yang didatangkan 

oleh Allah s.w.t, merombak hukum sebab-akibat bagi menyadarkan 

manusia tentang hakikat bahwa kekuasaan Allah s.w.t yang 

meliputi perjalanan alam maya dan hukum sebab-akibat. Alam dan 

hukum yang ada padanya seharusnya membuat manusia mengenal 

Tuhan, bukan menutup pandangan kepada Tuhan. Sebagian 

daripada manusia diselamatkan Allah s.w.t daripada paham sebab 

musabab. 

 

Sebagai manusia yang hidup dalam dunia mereka masih bergerak 

dalam arus sebab musabab tetapi mereka tidak meletakkan hukum 

kepada sebab. Mereka senantiasa melihat kekuasaan Allah s.w.t 

yang menetapkan atau mencabut keberkahan pada sesuatu hukum 

sebab-akibat. Jika sesuatu sebab berjaya mengeluarkan akibat 

menurut yang biasa terjadi, mereka melihatnya sebagai kekuasaan 

Allah s.w.t yang menetapkan kekuatan kepada sebab tersebut dan 

Allah s.w.t juga yang mengeluarkan akibatnya. Allah s.w.t 

berfirman:

 

Segala yang ada di langit dan di bumi tetap mengucap tasbih 

kepada Allah; dan Dialah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. 

Dialah sahaja yang menguasai dan memiliki langit dan bumi; Ia 

menghidupkan dan mematikan; dan Ia Maha Kuasa atas tiap-tiap 

sesuatu. |

( Ayat 1 & 2 : Surah al-Hadiid )

 

Maka Kami (Allah) berfirman: “Pukullah si mati dengan 

sebahagian anggota lembu yang kamu sembelih itu”. (Mereka pun 

memukulnya dan ia kembali hidup). Demikianlah Allah 

menghidupkan orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan 

kepada kamu tanda-tanda kekuasaan-Nya, supaya kamu 

memahaminya. |

( Ayat 73 : Surah alBaqarah )

 

Orang yang melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t menerajui hukum 

sebabakibat tidak meletakkan keberkesanan kepada hukum tersebut. 

Pergantungannya kepada Allah s.w.t, tidak kepada amal yang 

menjadi sebab. Orang yang seperti ini dipanggil ahli tajrid. Ahli 

tajrid, seperti juga ahli asbab, melakukan sesuatu menurut peraturan 

sebabakibat. Ahli tajrid juga makan dan minum Ahli tajrid 

memanaskan badan dan memasak dengan menggunakan api juga. 

Ahli tajrid juga melakukan sesuatu pekerjaan yang berhubung 

dengan rezekinya. 

 

Tidak ada perbezaan di antara amal ahli tajrid dengan amal ahli 

asbab. Perbezaannya terletak di dalam diri iaitu hati. Ahli asbab 

melihat kepada kekuatan hukum alam. Ahli tajrid melihat kepada 

kekuasaan Allah s.w.t pada hukum alam itu. Walaupun ahli asbab 

mengakui kekuasaan Allah s.w.t tetapi penghayatan dan

kekuatannya pada hati tidak sekuat ahli tajrid. Dalam melakukan 

kebaikan ahli asbab perlu melakukan mujahadah. Mereka perlu 

memaksa diri mereka berbuat baik dan perlu menjaga kebaikan itu 

agar tidak menjadi rosak.

 

Ahli asbab perlu memperingatkan dirinya supaya berbuat ikhlas dan

perlu melindungi keikhlasannya agar tidak dirosakkan oleh riak

(berbuat baik untuk diperlihatkan kepada orang lain agar dia

dikatakan orang baik), takbur (sombong dan membesar diri, merasakan

diri sendiri lebih baik, lebih tinggi, lebih kuat dan lebih cerdik daripada

orang lain) dan sama’ah (membawa perhatian orang lain kepada

kebaikan yang telah dibuatnya dengan cara bercerita mengenainya,

agar orang memperakui bahawa dia adalah orang baik). Jadi, ahli

asbab perlu memelihara kebaikan sebelum melakukannya dan juga

selepas melakukannya.

 

Suasana hati ahli tajrid berbeza daripada apa yang dialami oleh

ahli asbab. Jika ahli asbab memperingatkan dirinya supaya ikhlas,

ahli tajrid tidak melihat kepada ikhlas kerana mereka tidak bersandar

kepada amal kebaikan yang mereka lakukan. Apa juga kebaikan yang 

keluar daripada mereka diserahkan kepada Allah s.w.t yang 

mengurniakan kebaikan tersebut. Ahli tajrid tidak perlu menentukan 

perbuatannya ikhlas atau tidak ikhlas. Melihat keihklasan pada 

perbuatan sama dengan melihat diri sendiri yang ikhlas. Apabila 

seseorang merasakan dirinya sudah ikhlas, padanya masih 

tersembunyi keegoan diri yang membawa kepada riak, ujub 

(merasakan diri sendiri sudah baik) dan sama’ah.

 

Apabila tangan kanan berbuat ikhlas dalam keadaan tangan kiri

tidak menyedari perbuatan itu baharulah tangan kanan itu

benar-benar ikhlas. Orang yang ikhlas berbuat kebaikan dengan

melupakan kebaikan itu. Ikhlas sama seperti harta benda.

Jika seorang miskin diberi harta oleh jutawan, orang miskin itu malu

mendabik dada kepada jutawan itu dengan mengatakan yang dia sudah kaya.

 

Orang tajrid yang diberi ikhlas oleh Allah s.w.t mengembalikan 

kebaikan mereka kepada Allah s.w.t. Jika harta orang miskin itu 

hak si jutawan tadi, ikhlas orang tajrid adalah hak Allah s.w.t. Jadi,

orang asbab bergembira kerana melakukan perbuatan dengan 

ikhlas, orang tajrid pula melihat Allah s.w.t yang mentadbir 

sekalian urusan.

 

Ahli asbab dibawa kepada syukur, ahli tajrid berada dalam

penyerahan. Kebaikan yang dilakukan oleh ahli asbab merupakan

teguran agar mereka ingat kepada Allah s.w.t yang memimpin

mereka kepada kebaikan. Kebaikan yang dilakukan oleh ahli tajrid

merupakan kurniaan Allah s.w.t kepada kumpulan manusia yang

tidak memandang kepada diri mereka dan kepentingannya.

 

Ahli asbab melihat kepada keberkesanan hukum sebab-akibat.

Ahli tajrid pula melihat kepada keberkesanan kekuasaan dan

ketentuan Allah s.w.t. Dari kalangan ahli tajrid, Allah s.w.t memilih

sebahagiannya dan meletakkan kekuatan hukum pada mereka.

Kumpulan ini bukan sekadar tidak melihat kepada keberkesanan

hukum sebab-akibat, malah mereka berkekuatan menguasai hukum

sebab-akibat itu. Mereka adalah nabi-nabi dan wali-wali pilihan.

Nabi-nabi dianugerahkan mukjizat dan wali-wali dianugerahkan

kekeramatan. 

 

Mukjizat dan kekeramatan merombak keberkesanan hukum sebab-

akibat. Di dalam kumpulan wali-wali pilihan yang dikurniakan kekuatan 

mengawal hukum sebab-akibat itu terdapatlah orang-orang seperti 

Syeikh Abdul Kadir alJailani, Abu Hasan as-Sazili, Rabiatul 

Adawiah, Ibrahim Adham dan lain-lain. Cerita tentang kekeramatan 

mereka sering diperdengarkan. Orang yang cenderung kepada 

tarekat tasauf gemar menjadikan kehidupan aulia Allah s.w.t 

tersebut sebagai contoh, dan yang mudah memikat perhatian adalah 

bahagian kekeramatan.

 

Kekeramatan biasanya dikaitkan dengan perilaku kehidupan yang 

zuhud dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Timbul 

anggapan bahawa jika mahu memperolehi kekeramatan seperti 

mereka mestilah hidup sebagaimana mereka. 

Orang yang berada pada peringkat permulaan bertarekat cenderung 

untuk memilih jalan bertajrid iaitu membuang segala ikhtiar dan 

bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Sikap melulu bertajrid 

membuat seseorang meninggalkan pekerjaan, isteri, anak-anak, 

masyarakat dan dunia seluruhnya. Semua harta disedekahkan 

kerana dia melihat Saidina Abu Bakar as-Siddik telah berbuat 

demikian. 

 

Ibrahim bin Adham telah meninggalkan takhta kerajaan, isteri, 

anak, rakyat dan negerinya lalu tinggal di dalam gua. Biasanya 

orang yang bertindak demikian tidak dapat bertahan lama. 

Kesudahannya dia mungkin meninggalkan kumpulan tarekatnya 

dan kembali kepada kehidupan duniawi. Ada juga yang kembali 

kepada kehidupan yang lebih buruk daripada keadaannya sebelum 

bertarekat dahulu kerana dia mahu menebus kembali apa yang telah 

ditinggalkannya dahulu untuk bertarekat. Keadaan yang demikian 

berlaku akibat bertajrid secara melulu. 

 

Orang yang baharu masuk ke dalam bidang latihan kerohanian 

sudah mahu beramal seperti aulia Allah s.w.t yang sudah berpuluh-

puluh tahun melatihkan diri. Tindakan mencampak semua yang 

dimilikinya secara tergesa-gesa membuatnya berhadapan dengan 

cabaran dan dugaan yang boleh menggoncangkan imannya dan 

mungkin juga membuatnya berputus-asa. Apa yang harus dilakukan 

bukanlah meniru kehidupan aulia Allah s.w.t yang telah mencapai 

makam yang tinggi secara melulu.

 

Seseorang haruslah melihat kepada dirinya dan mengenalpasti

kedudukannya, kemampuanya dan daya-tahannya. Ketika masih

di dalam makam asbab seseorang haruslah bertindak sesuai dengan

hukum sebab-akibat. Dia harus bekerja untuk mendapatkan rezekinya

dan harus pula berusaha menjauhkan dirinya daripada bahaya atau

kemusnahan. Ahli asbab perlu berbuat demikian kerana dia masih

lagi terikat dengan sifatsifat kemanusiaan. Dia masih lagi melihat

bahawa tindakan makhluk memberi kesan kepada dirinya. 

 

Oleh yang demikian adalah wajar sekiranya dia mengadakan juga 

tindakan yang menurut pandangannya akan mendatangkan 

kesejahteraan kepada dirinya dan orang lain. 

Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang pada kedudukan sebagai 

ahli asbab ialah apabila urusannya dan tindakannya yang menurut 

kesesuaian hukum sebab-akibat tidak menyebabkannya 

mengabaikan kewajipan terhadap tuntutan agama. Dia tetap berasa 

rengan untuk berbakti kepada Allah s.w.t, tidak gelojoh dengan 

nikmat duniawi dan tidak berasa iri hati terhadap orang lain. 

 

Apabila ahli asbab berjalan menurut hukum asbab maka jiwanya 

akan maju dan berkembang dengan baik tanpa menghadapi 

kegoncangan yang besar yang boleh menyebabkan dia berputus asa 

dari rahmat Allah s.w.t. Rohaninya akan menjadi kuat sedikit demi 

sedikit dan menolaknya ke dalam makam tajrid secara selamat. 

Akhirnya dia mampu untuk bertajrid sepenuhnya. Ada pula orang 

yang dipaksa oleh takdir supaya bertajrid.

 

Orang ini asalnya adalah ahli asbab yang berjalan menurut hukum

sebab-akibat sebagaimana orang ramai. Kemungkinannya kehidupan

seperti itu tidak menambahkan kematangan rohaninya. Perubahan

jalan perlu baginya supaya dia boleh maju dalam bidang kerohanian.

Oleh itu takdir bertindak memaksanya untuk terjun ke dalam lautan tajrid. 

Dia akan mengalami keadaan di mana hukum sebabakibat tidak lagi 

membantunya untuk menyelesaikan masalahnya.

 

Sekiranya dia seorang raja, takdir mencabut kerajaannya. Sekiranya 

dia seorang hartawan, takdir menghapuskan hartanya. Sekiranya dia 

seorang yang cantik, takdir menghilangkan kecantikannya itu. 

Takdir memisahkannya daripada apa yang dimiliki dan dikasihinya. 

Pada peringkat permulaan menerima kedatangan takdir yang 

demikian, sebagai ahli asbab, dia berikhtiar menurut hukum 

sebabakibat untuk mempertahankan apa yang dimiliki dan 

dikasihinya.

 

Jika dia tidak terdaya untuk menolong dirinya dia akan meminta

pertolongan orang lain. Setelah puas dia berikhtiar termasuklah

bantuan orang lain namun, tangan takdir tetap juga merombak sistem

sebab-akibat yang terjadi ke atas dirinya. Apabila dia sendiri dengan

dibantu oleh orang lain tidak mampu mengatasi arus takdir maka dia

tidak ada pilihan kecuali berserah kepada takdir.

 

Dalam keadaan begitu dia akan lari kepada Allah s.w.t dan 

merayu agar Allah s.w.t menolongnya. Pada peringkat ini seseorang 

itu akan kuat beribadat dan menumpukan sepenuh hatinya kepada 

Tuhan. Dia benar-benar berharap Tuhan akan menolongnya 

mengembalikan apa yang pernah dimilikinya dan dikasihinya. 

Tetapi, pertolongan tidak juga sampai kepadanya sehinggalah dia 

benar-benar terpisah dari apa yang dimiliki dan dikasihinya itu. 

 

Luputlah harapannya untuk memperolehinya kembali. Redalah dia 

dengan perpisahan itu. Dia tidak lagi merayu kepada Tuhan 

sebaliknya dia menyerahkan segala urusannya kepada Tuhan. Dia 

menyerah bulat-bulat kepada Allah s.w.t, tidak ada lagi ikhtiar, 

pilihan dan kehendak diri sendiri. Jadilah dia seorang hamba Allah 

s.w.t yang bertajrid. Apabila seseorang hamba benar-benar bertajrid 

maka Allah s.w.t sendiri akan menguruskan kehidupannya. Allah 

s.w.t menggambarkan suasana tajrid dengan firman-Nya:

 

Dan (ingatlah) berapa banyak binatang yang tidak membawa 

rezekinya bersama, Allah jualah yang memberi rezeki kepadanya 

dan kepada kamu; dan Dialah jua Yang Maha Mendengar, lagi 

Maha Mengetahui.|

( Ayat 60 : Surah al-‘Ankabut )

 

Makhluk Allah s.w.t seperti burung, ikan, kuman dan sebagainya 

tidak memiliki tempat simpanan makanan. Mereka adalah ahli tajrid 

yang dijamin rezeki mereka oleh Allah s.w.t. Jaminan Allah s.w.t 

itu meliputi juga bangsa manusia. Tanda Allah s.w.t meletakkan 

seseorang hamba-Nya di dalam makam tajrid ialah Allah s.w.t 

memudahkan baginya rezeki yang datang dari arah yang tidak 

diduganya. Jiwanya tetap tenteram sekalipun terjadi kekurangan 

pada rezeki atau ketika menerima bala ujian. 

 

Sekiranya ahli tajrid sengaja memindahkan dirinya kepada makam 

asbab maka ini bermakna dia melepaskan jaminan Allah s.w.t lalu 

bersandar kepada makhluk . Ini menunjukkan akan kejahilannya 

tentang rahmat dan kekuasaan Allah s.w.t. Tindakan yang jahil itu 

boleh menyebabkan berkurangan atau hilang terus keberkatan yang 

Allah s.w.t kurniakan kepadanya. Misalnya, seorang ahli tajrid yang 

tidak mempunyai sebarang pekerjaan kecuali membimbing orang 

ramai kepada jalan Allah s.w.t, walaupun tidak mempunyai 

sebarang pekerjaan namun, rezeki datang kepadanya dari berbagai-

bagai arah dan tidak pernah putus tanpa dia meminta-minta atau 

mengharap-harap. 

 

Pengajaran yang disampaikan kepada murid-muridnya sangat 

berkesan sekali. Keberkatannya amat ketara seperti makbul doa dan

ucapannya biasanya menjadi kenyataan. Andainya dia 

meninggalkan suasana bertajrid lalu berasbab kerana tidak puas hati 

dengan rezeki yang diterimanya maka keberkatannya akan terjejas. 

Pengajarannya, doanya dan ucapannya tidak seberkesan dahulu 

lagi. Ilham yang datang kepadanya tersekat-sekat dan kefasihan 

lidahnya tidak selancar biasa. 

 

Seseorang hamba haruslah menerima dan reda dengan kedudukan 

yang Allah s.w.t kurniakan kepadanya. Berserahlah kepada Allah 

s.w.t dengan yakin bahawa Allah Maha Mengetahui dan Maha 

Bijaksana. Allah s.w.t tahu apa yang patut bagi setiap makhluk-

Nya. Allah s.w.t sangat bijak mengatur urusan hamba-hamba-Nya. 

Keinginan kepada pertukaran makam merupakan tipu daya yang 

sangat halus. Di dalamnya tersembunyi rangsangan nafsu yang 

sukar disedari.

 

Nafsu di sini merangkumi kehendak, cita-cita dan angan-angan.

Orang yang baharu terbuka pintu hatinya setelah lama hidup di dalam

kelalaian, akan mudah tergerak untuk meninggalkan suasana asbab

dan masuk ke dalam suasana tajrid. Orang yang telah lama berada

dalam suasana tajrid, apabila kesedaran dirinya kembali sepenuhnya,

ikut kembali kepadanya adalah keinginan, cita-cita dan anganangan.

Nafsu mencuba untuk bangkit semula menguasai dirinya. 

 

Orang asbab perlulah menyedari bahawa keinginannya untuk 

berpindah kepada makam tajrid itu mungkin secara halus 

digerakkan oleh ego diri yang tertanam jauh dalam jiwanya. 

Orang tajrid pula perlu sedar keinginannya untuk kembali kepada 

asbab itu mungkin didorong oleh nafsu rendah yang masih belum 

berpisah dari hatinya.

 

Ulama tasauf mengatakan seseorang mungkin dapat mencapai 

semua makam nafsu, tetapi nafsu peringkat pertama tidak kunjung 

padam. Oleh yang demikian perjuangan atau mujahadah mengawasi 

nafsu sentiasa berjalan.

 








        Isi Kandungan

Kembali